Kamis, 11 September 2014

Kepada orangtua tercinta,

Ah, aku nggak tahu harus mulai dari mana mengungkapan keresahan-keresahan inih. Apakah dari hutan terus lari ke pantai? Ceileh. Tapi ogah ah, lari-lari dari hutan ke pantai biasanya dilakukan oleh orang yang galau. Padahal kan aku enggak galau. Aku cuma resah aja. Tsaah. Tapi emang beda loh resah sama galau itu. Kalau resah itu perasaan khawatir akan suatu hal, yang biasanya membawa pada kepedulian dan keinginan untuk mengubahnya jadi lebih baik gitu. Kalau galau mah, nggak usah dijelasin lagi kali ya. Udah langganan ngerasain itu, kan? Uehehe.

Jadi, izinkan aku mengungkapkan keresahan itu dengan menulis surat-surat ini aja. Surat ini aku tulis dengan sepenuh hati, sebagai tanda sayang dan cinta kepada para orangtua di dunia. Ditulis dengan sepenuh hati biar sampe ke hati juga, soalnya sesuatu yang dilakukan dengan setengah hati itu biasanya malah bikin capek diri sendiri dan bikin repot orang lain.

Hmm, aku enggak tahu tujuan setiap orangtua bikin anak. Eh, maksudnya setiap orangtua punya tujuan masing-masing yang berbeda kenapa pengen punya anak. Tapi kalau boleh minta tolong, coba deh inget-inget lagi apa tujuannya punya anak, biar tetep semangat dalam membersamai dan mendidik anak-anak gitu. Aku bantuin buat inget ya. Pejamkan mata anda, bayangkan wajah anak-anak anda, lalu tidurlah dengan nyenyak. Kyaaaa, kenapa jadi semisal AMT yang di tipi-tipi ituh.

Anak-anak itu kan penyejuk mata dan hati, sumber kebahagiaan yang enggak ada abisnya. Tapi anak-anak juga ujian bagi orangtuanya. Jadi kalau kami sesekali bikin salah, bikin kesel, bikin repot, bikin capek, bikin emosi; coba inget lagi kalau harusnya kan kami jadi penyejuk mata dan hati. Harusnya kehadiran kami di keluarga bikin keluarga jadi lebih bahagia. Kalau belum, mungkin ada yang kurang tepat dalam prosesnya, ada yang harus diperbaiki dalam membesarkan dan memperlakukan kami.

Kalau sudah diperbaiki tapi belum berubah juga, jangan lupa kalau anak itu ujian bagi orangtuanya. Tapi katanya, kalau kita inget janji-Nya, ujian seberat apapun akan terasa lebih ringan. Janji atas pahala yang tak berkesudahan dari anak yang sholeh/ah, janji atas kebaikan yang terus mengalir dari ridho orangtua, janji atas kebahagian tak ternilai dari pengorbanan dan kesabaran.

Syurga itu ada di telapak kaki ibu, semua orang tau itu. Apalagi orangtua. Tapi bolehkah kami tahu itu dari orangtua kami sendiri, sejak sedini mungkin? Bukan dari guru sekolah atau guru mengaji? Agar lebih terpatri dalam hati kami, karena bukan hanya disampaikan dengan kata, tapi juga keteladanan dan bukti nyata. Agar kami bisa memuliakan makhluk bernama perempuan, apalagi ibu kami sendiri.

Setiap orangtua pasti sayang sama anaknya. Tapi bolehkah kami tahu dan mengerti itu dari orangtua kami sendiri, sejak sedini mungkin? Sebelum kami terlalu besar untuk tahu, dan canggung sekali untuk membalasnya walau hanya dengan kata-kata. Sebelum ego kami turut membesar sejalan dengan bertambahnya usia kami.

___ Tsaah, Karel Sulthan Adnara

Rabu, 10 September 2014

Belajar....

Cocok
======
Ada pertanyaan yang berlarian di benakku belakangan ini. Dan sebelumnya, aku minta maaf kalau pertanyaan ini harus ada, padahal sudah sekian lama kita hidup menggenap dalam satu atap. Apakah kita sudah benar-benar cocok? Aku tahu ini tak selayaknya untuk ditanyakan. Anggap saja aku sedang tak ada kerjaan menanyakan pertanyaan semacam itu. Bohong deh. Bagi kebanyakan perempuan, perasaan adalah prioritas yang lebih penting daripada pekerjaan apapun. Normalnya, perempuan itu lebih rajin daripada laki-laki. Jadi kalau ada perempuan yang bawaannya males buat melakukan apapun, bukan berarti perempuan itu sedang tidak melakukan apa-apa. Dia hanya sedang sibuk dengan perasaannya sendiri. Jujur, aku termasuk dalam golongan perempuan kebanyakan itu. Dan aku sedang sibuk dengan pertanyaan tadi, pertanyaan yang mengusik perasaanku.

Pertanyaan itu bermula dari kumpulan peristiwa yang akhir- akhir ini kita lalui. Betapa kita berbeda dalam banyak hal. Dan betapa perbedaan itu sering mengganggu ketenangan kita. Eh aku deh, enggak tahu kalau kamu gimana. Bukan apa-apa, aku hanya bermaksud untuk meluruskan. Sebelum semuanya terlambat. Aku tak mau kita berpisah hanya karena sudah tidak ada kecocokan diantara kita, seperti banyak pasangan di luar sana yang sudah bertahun-tahun hidup bersama lantas berpisah karena sudah tidak sama- sama cocok. Aku mau kita saling memperbaiki diri, karena memang selalu ada yang harus diperbaiki dari makhluk yang bernama manusia. Aku harap, kamu ngerti.

***
“Kamu tahu, semua jawaban tentang perasaan kita terhadap orang lain, sudah kita punya dalam hati. Yang belum kita punya adalah keberanian untuk mengakuinya.” Katamu mencoba menjawab pertanyaanku
“Maksudnya? Aku belum mengerti.”

“Kita pasti tahu siapa orang yang kita suka, siapa orang yang kita cinta. Bahkan, bagi seseorang yang belum menggenap selalu ada kecenderungan agar orang tertentu bersedia menggenapinya, lalu mereka hidup berbahagia sebagai pasangan hidup. Mereka tahu. Hati mereka merasakannya. Hati mereka sudah punya jawabannya. Tinggal masalahnya, mereka berani mengakuinya apa tidak. Tidak masalah berani mengakui apa tidak sebenarnya. Hanya saja, keberanian itu akan membedakan tindakannya. Orang yang berani mengakui perasaannya, tentu akan memperjuangkan apa yang dirasakannya. Sebaliknya, orang yang tidak berani, lebih memilih untuk menyimpannya, untuk melupakannya. Padahal bisa jadi, melupakan jauh lebih sulit daripada memperjuangkan. Walaupun keduanya mungkin sama-sama terhormat bagi orang yang bisa melewatinya. Yang repot itu, tidak mau memperjuangkan tapi tak juga melepaskan. Terjebak pada perasaanya sendiri. Padahal, perasaan itu bisa dibongkar pasang. Bisa disusun kembali. Dan kalau bongkar-pasang itu perlu obeng, obengnya cukup dengan pemahaman yang baik. Misalnya, pemahaman kalau kita bisa menentukan siapa yang harus kita cintai, siapa yang tak perlu kita cintai, juga siapa yang tak boleh kita cintai. Atau misalkan lagi pemahaman; kalau kita tidak ditakdirkan berjodoh dengan seseorang. Sudah pasti kita tidak bisa hidup berbahagia dengan orang itu. Makanya Tuhan meminta kita mencari orang lain untuk saling membahagiakan. Bukan malah bersedih ria atas kebahagiaannya dengan orang lain.”

“Jadi, nyambung sama pertanyaan kamu tadi, kalau kamu bertanya apakah kita sudah benar-benar cocok, sebenernya kamu sudah merasakan hal semacam itu, bukan? Kamu hanya belum berani untuk mengakuinya. Jujur, akupun merasa kalau kita tidak cocok-cocok amat. Walaupun banyak teman- teman kita yang bilang kalau kita pasangan yang serasi. Masalahnya, kita yang merasakan. Bukan mereka”
“Hehe, iya sih. Terus gimana?” aku tersenyum, malu.
“Gimana apanya?” jawabmu menggoda, tersenyum menyebalkan. Aku tahu kamu ngerti maksudku apa
“Ya tadi, gimana kalau kita merasa tidak benar-benar cocok?”
“Emang, dua orang yang hidup menggenap itu harus benar-benar cocok ya?” ih, kamu ngeselin banget sih. Jawabannya dijawab dengan pertanyaan lagi. Aku serius tahu. Udah ah, mending aku diem aja.
“Kok diem?”
“Abis ngeselin sih, aku serius tahu?”
“Idih, siapa yang lagi bercanada. Aku juga serius tahu. Kalau menurut kamu dua orang yang hidup menggenap itu harus benar-benar cocok, apa yang kita rasakan saat ini, merasa masih belum benar-benar cocok, pasti akan bermasalah buat kamu. Akan mengganggu keharmonisan kita. Tapi buatku, itu bukan masalah. Karena menurutku, dua orang yang hidup menggenap tidak harus cocok-cocok amat. Karena kalau kriterianya adalah cocok, tentu akan merepotkan pada akhirnya. Kita harus mencocokkan masing-masing item dalam kehidupan kita. Semakin lama kita hidup bersama, semakin banyak item yang harus kita cocokkan. Dan tentu itu bukan pekerjaan yang mudah.”

“Aku lebih memilih, tak apalah kita berbeda dalam banyak hal, dengan keinginan masing-masing, dengan cara yang disukai masing-masing. Yang penting kita bisa menerima, yang paling penting kita saling ngerti. Sepertinya itu lebih mudah daripada harus mencocokkan setiap item. Dulu, aku juga memilih kamu bukan karena kamu perempuan yang paling cocok dengan aku, tapi karena kamu yang paling siap untuk menerima.”

***
Apakah kita sudah benar-benar cocok? Sekarang aku tahu jawabannya. Jawabannya bukan sudah atau belum. Jawabannya adalah tidak pernah. Karena memang, tak ada dua manusia yang benar-benar cocok. Sepasang manusia terlalu kompleks untuk dicocok-cocokkan. Sepasang manusia hanya bisa berusaha untuk saling menerima dan saling mengerti. Seperti apapun sosok pasangan yang diberikan Tuhan untuknya. Jadi buat siapapun yang belum menemukan pasangan hidupnya, jangan mencari seseorang yang benar- benar cocok dengan kita. Karena selain butuh waktu yang lama, orang itu tidak benar-benar ada. Dan kita tak perlu membuang umur dengan mencari sesuatu yang tak ada, bukan?

___ Genap, Nazrul Anwar

Minggu, 07 September 2014

:)

Rasakan Saja
=============
Andai saja pilihan itu ada, tentu aku akan memilih untuk melupakanmu. Membuangmu jauh-jauh dari sudut ingatanku. Mengingatmu membuatku semakin resah, tapi melupakanmu bukanlah perkara yang cukup mudah. Namun apa daya, kebingunganganku menyudutkanku pada kondisi tanpa pilihan selain mengingatmu, walaupun mengingatmu adalah perkara yang tak selayaknya.

***
Harusnya, aku tak perlu kehilangan jutaan detik yang berharga hanya untuk bersia-sia, terjebak dalam bingungnya perasaan terhadapmu; jika sedari dulu aku mengerti bahwa hati tidak ditugaskan untuk memilih. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang sahabatku, walaupun aku menyesal kenapa baru mendengarnya setelah semua ini terjadi.
"Hati tak perlu memilih, hati selalu tahu apa yang harus dirasa. Terlepas dari benar atau salah perasaan itu. Kalau kamu suka, rasai saja. Tak perlu berpaling dari perasaan sendiri. Kalau kamu benci, rasai saja. Tak perlu berpura-pura untuk menyukai apa yang kamu benci. Apalagi memaksa menyukai apa yang sebenarnya tidak kamu suka. Memaksa hanya akan membuat hatimu semakin luka. Termasuk memaksa untuk melupakannya. Jadi kalau hatimu bilang ingin mengingatnya, ingat saja tentangnya."
"Jadi tak masalah kalaupun perasaan itu salah?"
"Hati tak pernah tahu apa yang dirasanya itu benar atau salah. Karena hati diciptakan untuk merasa, bukan untuk berfikir tentang benar atau salah. Hati hanya bisa jujur, jujur terhadap apa yang dirasanya. Walaupun itu salah, walaupun itu bertentangan dengan kaidah baik-buruk sunatullah yang sudah dipaketkan Tuhan untuk dikenal oleh hati nurani. Hati tidak bisa berbohong. Tapi hati sangat bisa untuk salah. That`s why, selain menciptakan hati, Tuhan juga memberikan akal untuk berfikir, untuk mempertimbangkan baik-buruknya, untuk menentukan benar-salahnya. Gunakan juga itu, jangan hanya menggunakan hati saja."
"Jadi, aku harus gimana?"
"Rasakan saja apa yang harus dirasakan. Rasakan saja apa yang ingin hatimu rasakan. Entah itu suka, benci, atau mungkin rindu. Dengan begitu hatimu menjadi lega. Tapi sebelum melampiaskan perasaan kamu, sebelum mengungkapkannya, sebelum mengekspresikannya, jangan lupa gunakan akal kamu untuk berfikir tentang cara yang baik dan benar bagaimana melampiaskannya. Gunakan akal kamu untuk menata hati kamu, agar bisa meluruskan perasaan yang salah, atau perasaan yang tidak pada tempatnya."
***
Well, aku memang masih belum bisa melupakanmu. Aku juga tak bisa memaksa hatiku untuk melupakanmu. Dan ternyata aku tak perlu punya pilihan untuk melupakannmu. Barangkali juga untuk urusan hidup yang lainnya; kita tak perlu bingung dengan pilihan kalau kita sudah punya keinginan yang sungguh-sungguh. Dan sekarang, aku benar-benar ingin melupakanmu.
___ Menata Hati, Nazrul Anwar

Sabtu, 06 September 2014

Lupakan Islam Sebagai Sebuah Agama



Paling tidak ada dua narasi raksasa tentang asal – usul realitas. Pertama adalah narasi agama. Narasi yang berkisah tentang penciptaan alam semesta oleh Tuhan dari ketiadaannya dan kedua narasi kosmologi sekuler. Narasi yang merupakan kombinasi filsafat dan ilmu alam ini memunculkan berbagai teori – teori besar sebagai lawan tanding narasi agama. Terlepas dari perbedaan satu sama lain keduanya bersikukuh tentang perwujudan alam semesta, serta peristiwa-peristiwa yang membersamainya.  Seluruh kerja kognitif manusia mulai membongkar  segala ilmu pengetahuan. (copiedit  dari buku Posrealitas. Yasraf Amir Piliang).

Manusia bertindak sebagai subjek dan objek terhadap ilmu pengetahuan.  Dia tidak bisa melepaskan ke – aku-annya begitu saja. Serangkaian  perjalanan hidup, pencarian kehidupan, serta pengalaman- pengalaman  hidup membentuknya melihat realitas.  Semacam frame yang membantunya membaca ilmu pengetahuan. Sekeras apapun manusia mencoba  membebaskan fikirannya membaca lingkungan dia tidak pernah kemana- mana. Dia sudah memiliki pengetahuan sendiri yang telah ia bentuk sesuai dengan kecenderungannya.
Agama memang menyentuh sisi sensitif manusia karena tempatnya di hati. Islam misalnya. Lupakan Islam sebagai sebuah agama. Karena manusia hanya akan melakukan penentangan – penentangan Terhadapnya. Manusia banyak mencurigainya sebagai sebuah pemahaman yang tidak sesuai dengan zaman. Mencurigainya sebagai penyebab dari segala ekstrimisme. 

 Islam bukan hanya agama tapi sebuah sistem.  The way of life. Karena the way of life  manusia tidak akan mampu memahaminya sebatas bangku sekolah bahkan  universitas  tetapi  mempelajarinya sepanjang bentangan usia.








Jumat, 05 September 2014

Banar - Salah

Belajar HI sampai tahap ini mengajarkanku tentang sebuah interaksi. interaksi antar negara sama saja dengan interaksi antar manusia. Dalam interaksi, hukum benar- salah itu tidak ada karena masing – masing kita punya kebenarannya sendiri. Kita sebagai actor sedang mencoba dan berusaha membuat keseimbangan. Yang kita lakukan adalah agar bagaimana orang berfikir seperti apa yang kita fikirkan. Mungkin sedikit memaksa, seperti Amerika Serikat tapi begitulah, prestasi menunjukan otoritas. Sebagai negara kecil yang kita lakukan adalah ambil yang baiknya lalu berinovasi karena memaki dan menghakimi tanpa tindakan hanya menunjukkan kalau kita memang tidak bisa berbuat apa – apa.
Menunggu lah dengan sopan rapi tapi terencana, Rima. Apapun yang sedang ditunggu akan tiba jika memang sudah tiba waktunya. (Copiedit)

Penting memahami

saduran#
1. Penting sekali semua orang memahami, betapa orang lain mati-matian dalam menyelesaikan pekerjaannya, dan betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang lain itu agar kehidupan ini tetap berimbang, berimbang antara mengambil dan memberi, take and give.

2. Dan … agar tidak ada yang mengira bahwa dialah satu-satunya orang yang habis-habisan dalam berkorban, menanggung derita, menghadapi kesulitan dan masalah serta menyelesaikannya.

3. Dan … jangan dikira bahwa orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang tampaknya santai, diam, dan enak-enakan … jangan dikira bahwa mereka tidak mempunyai andil apa-apa.

4. Oleh karena itu,menghargai jerih payah dan kerja orang lain jangan melihat dari sudut pandang yang sempit.

Sang Senior

Ini bukan soal usia, soal seberapa banyak pengetahuan, seberapa banyak pengalaman tapi soal seberapa lama kita pada posisi tertentu dalam sebuah komunitas, seberapa duluan kita masuk dalam sebuah hirarki dan yang datang belakangan harus siap menjadi yunior seberapapun banyak pengalaman, pengetahuan dan apapun itu.

Pelajaran menarik yang dalam interaksi senior dan yunior. Adalah Kepatuhan. Patuh. seberapa nyamankah senior membuat sang yunior patuh pada aturannya? Seberapa hebatkah sang senior untuk harus dipatuhi? Seberapa terhormatnya sang senior untuk harus dihormati?. Tapi bagaimana menanam rasa nyaman itu?

Kepatuhan bukan sesuatu yang lahir dari doktrin tentunya tapi lahir dari sebuah interaksi hati saling percaya, saling menerima, saling mendukung, saling menghormati, saling memberi masukan, saling mendengar. Karena kepatuhan adalah komunikasi timbal balik bukan searah.

Wah, susah juga jadi senior maupun yunior kalau kata ‘’saling’’ sudah tidak menyelinap di sanubari masing- masing.

senior memang harus dihormati dan dikritik. Yunior harus patuh pada senior tentunya untuk hal – hal yang baik. Posisi kita pada predikat senior dan yunior tidak terlalu penting. Karena itu hanyalah label. Pribadi kitalah yang harus mengisi label itu dengar kadar agar berkualitas. kadar kualitas itu adalah serangkaian kesederhanaan dan kejujuran sikap. boleh jadi kapasitas yunior lebih hebat dari Senior tapi yunior akan selalu menghormati seniornya dan kalaupun seniornya lebih hebat dari yuniornya sikapnya akan selalu menghormati yuniornya.

Tapi tidak semua punya sikap seperti itu kan? pastikan kita yang harus punya sikap seperti itu :)