Rabu, 10 September 2014

Belajar....

Cocok
======
Ada pertanyaan yang berlarian di benakku belakangan ini. Dan sebelumnya, aku minta maaf kalau pertanyaan ini harus ada, padahal sudah sekian lama kita hidup menggenap dalam satu atap. Apakah kita sudah benar-benar cocok? Aku tahu ini tak selayaknya untuk ditanyakan. Anggap saja aku sedang tak ada kerjaan menanyakan pertanyaan semacam itu. Bohong deh. Bagi kebanyakan perempuan, perasaan adalah prioritas yang lebih penting daripada pekerjaan apapun. Normalnya, perempuan itu lebih rajin daripada laki-laki. Jadi kalau ada perempuan yang bawaannya males buat melakukan apapun, bukan berarti perempuan itu sedang tidak melakukan apa-apa. Dia hanya sedang sibuk dengan perasaannya sendiri. Jujur, aku termasuk dalam golongan perempuan kebanyakan itu. Dan aku sedang sibuk dengan pertanyaan tadi, pertanyaan yang mengusik perasaanku.

Pertanyaan itu bermula dari kumpulan peristiwa yang akhir- akhir ini kita lalui. Betapa kita berbeda dalam banyak hal. Dan betapa perbedaan itu sering mengganggu ketenangan kita. Eh aku deh, enggak tahu kalau kamu gimana. Bukan apa-apa, aku hanya bermaksud untuk meluruskan. Sebelum semuanya terlambat. Aku tak mau kita berpisah hanya karena sudah tidak ada kecocokan diantara kita, seperti banyak pasangan di luar sana yang sudah bertahun-tahun hidup bersama lantas berpisah karena sudah tidak sama- sama cocok. Aku mau kita saling memperbaiki diri, karena memang selalu ada yang harus diperbaiki dari makhluk yang bernama manusia. Aku harap, kamu ngerti.

***
“Kamu tahu, semua jawaban tentang perasaan kita terhadap orang lain, sudah kita punya dalam hati. Yang belum kita punya adalah keberanian untuk mengakuinya.” Katamu mencoba menjawab pertanyaanku
“Maksudnya? Aku belum mengerti.”

“Kita pasti tahu siapa orang yang kita suka, siapa orang yang kita cinta. Bahkan, bagi seseorang yang belum menggenap selalu ada kecenderungan agar orang tertentu bersedia menggenapinya, lalu mereka hidup berbahagia sebagai pasangan hidup. Mereka tahu. Hati mereka merasakannya. Hati mereka sudah punya jawabannya. Tinggal masalahnya, mereka berani mengakuinya apa tidak. Tidak masalah berani mengakui apa tidak sebenarnya. Hanya saja, keberanian itu akan membedakan tindakannya. Orang yang berani mengakui perasaannya, tentu akan memperjuangkan apa yang dirasakannya. Sebaliknya, orang yang tidak berani, lebih memilih untuk menyimpannya, untuk melupakannya. Padahal bisa jadi, melupakan jauh lebih sulit daripada memperjuangkan. Walaupun keduanya mungkin sama-sama terhormat bagi orang yang bisa melewatinya. Yang repot itu, tidak mau memperjuangkan tapi tak juga melepaskan. Terjebak pada perasaanya sendiri. Padahal, perasaan itu bisa dibongkar pasang. Bisa disusun kembali. Dan kalau bongkar-pasang itu perlu obeng, obengnya cukup dengan pemahaman yang baik. Misalnya, pemahaman kalau kita bisa menentukan siapa yang harus kita cintai, siapa yang tak perlu kita cintai, juga siapa yang tak boleh kita cintai. Atau misalkan lagi pemahaman; kalau kita tidak ditakdirkan berjodoh dengan seseorang. Sudah pasti kita tidak bisa hidup berbahagia dengan orang itu. Makanya Tuhan meminta kita mencari orang lain untuk saling membahagiakan. Bukan malah bersedih ria atas kebahagiaannya dengan orang lain.”

“Jadi, nyambung sama pertanyaan kamu tadi, kalau kamu bertanya apakah kita sudah benar-benar cocok, sebenernya kamu sudah merasakan hal semacam itu, bukan? Kamu hanya belum berani untuk mengakuinya. Jujur, akupun merasa kalau kita tidak cocok-cocok amat. Walaupun banyak teman- teman kita yang bilang kalau kita pasangan yang serasi. Masalahnya, kita yang merasakan. Bukan mereka”
“Hehe, iya sih. Terus gimana?” aku tersenyum, malu.
“Gimana apanya?” jawabmu menggoda, tersenyum menyebalkan. Aku tahu kamu ngerti maksudku apa
“Ya tadi, gimana kalau kita merasa tidak benar-benar cocok?”
“Emang, dua orang yang hidup menggenap itu harus benar-benar cocok ya?” ih, kamu ngeselin banget sih. Jawabannya dijawab dengan pertanyaan lagi. Aku serius tahu. Udah ah, mending aku diem aja.
“Kok diem?”
“Abis ngeselin sih, aku serius tahu?”
“Idih, siapa yang lagi bercanada. Aku juga serius tahu. Kalau menurut kamu dua orang yang hidup menggenap itu harus benar-benar cocok, apa yang kita rasakan saat ini, merasa masih belum benar-benar cocok, pasti akan bermasalah buat kamu. Akan mengganggu keharmonisan kita. Tapi buatku, itu bukan masalah. Karena menurutku, dua orang yang hidup menggenap tidak harus cocok-cocok amat. Karena kalau kriterianya adalah cocok, tentu akan merepotkan pada akhirnya. Kita harus mencocokkan masing-masing item dalam kehidupan kita. Semakin lama kita hidup bersama, semakin banyak item yang harus kita cocokkan. Dan tentu itu bukan pekerjaan yang mudah.”

“Aku lebih memilih, tak apalah kita berbeda dalam banyak hal, dengan keinginan masing-masing, dengan cara yang disukai masing-masing. Yang penting kita bisa menerima, yang paling penting kita saling ngerti. Sepertinya itu lebih mudah daripada harus mencocokkan setiap item. Dulu, aku juga memilih kamu bukan karena kamu perempuan yang paling cocok dengan aku, tapi karena kamu yang paling siap untuk menerima.”

***
Apakah kita sudah benar-benar cocok? Sekarang aku tahu jawabannya. Jawabannya bukan sudah atau belum. Jawabannya adalah tidak pernah. Karena memang, tak ada dua manusia yang benar-benar cocok. Sepasang manusia terlalu kompleks untuk dicocok-cocokkan. Sepasang manusia hanya bisa berusaha untuk saling menerima dan saling mengerti. Seperti apapun sosok pasangan yang diberikan Tuhan untuknya. Jadi buat siapapun yang belum menemukan pasangan hidupnya, jangan mencari seseorang yang benar- benar cocok dengan kita. Karena selain butuh waktu yang lama, orang itu tidak benar-benar ada. Dan kita tak perlu membuang umur dengan mencari sesuatu yang tak ada, bukan?

___ Genap, Nazrul Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar