Sumber : Google |
Anniversary
Ayah dan Bunda
========================
“Ayah, mana yang lebih ayah cintai, bunda atau anak-anak bunda?” sengaja betul Kak Putri menggoda ayah dan bunda malam itu, malam ulang tahun pernikahan mereka.
“Ayah sayang kalian semua, Putri. Bunda, dan anak-anak ayah.”
“Aduh, Ayah. Kak Putri kan nanyanya yang lebih, berarti jawabannya kami atau bunda. Bukan semuanya.” Kali ini aku kompak dengan kak Putri, menggoda mereka. Sebenarnya kami sudah tahu jawabannya. Ya pasti bunda lah ya, bunda kan udah lebih lama hidup sama ayah. Udah merasakan kebahagiaan dan penderitaan bersama-sama. Kami hanya ingin mendengarkan kalimat itu langsung dari ayah.
“Ayo, makan dulu.” Bunda yang juga ada bersama kami berusaha mengalihkan suasana, tapi Kak Putri tetep ngotot.
“Jawab dulu, Ayah.”
“Iya deh, ayah jawab. Hmmm” Ayah diam sejenak. Kami semua penasaran menanti jawaban ayah. Kak Putri udah senyum-senyum aja.
“Siapa, Ayah? Siapa?” Aku udah enggak sabaran
“Tentu saja, ayah lebih mencintai anak-anak ayah daripada bunda. Lebih mementingkan anak-anak. Iya kan, Bunda?”
“Hah?” Aku dan kak Putri cuma melotot kaget, bunda tidak menjawab, mukanya sedikit cemberut. Cemburu, lucu deh ngeliatnya.
“Kalian tahu, apa hal paling penting yang harus dilakukan seorang ayah demi anak-anaknya?
“Apa emang, Ayah?”
“Mencintai ibu mereka dengan cinta yang setulus-tulusnya, dengan cinta yang sebesar-besarnya.”
Aih, wajah si bunda langsung merona merah, walaupun ditahan-tahan. Lebih lucu daripada wajah cemberut sebelumnya.
Sayangnya, tak akan ada cinta yang seperti itu, tanpa dilandasi cinta kepada Allah. Karena sejatinya, ketulusan itu selalu berhubungan dengan Allah.” Kami malah bingung dengan kata-kata Ayah.
“Maksudnya, Yah?”
***
Sekian belas abad silam, tersebutlah wanita sederhana nan mulia bernama Ummu Sulaim. Adalah Abu Talhah, pria paling kaya diantara kaumnya, yang sangat ingin menikahi janda yang mulia itu. Sayangnya, mereka berbeda akidah. Sedangkan bagi Ummu Sulaim, tak ada pernikahan dengan akidah yang berbeda. Karena cintanya terhadap Ummu Sulaim, Abu Talhah berpindah akidah. Mereka menikah dengan mahar paling indah yang tidak akan pernah dilupakan oleh penduduk langit; syahadat untuk keislaman Abu Talhah.
Merekalah, pasangan yang diabadikan di salah satu ayat Allah, karena bersedia menjamu tamu padahal waktu itu mereka hanya punya makanan yang cukup untuk keluarga sendiri (semenjak masuk islam, hampir seluruh kekayaan Abu Talhah dibagi-bagikan). Akhirnya, anaknya hanya diberikan minum dan ditidurkan, sementara dalam suasana remang, suami-isteri itu hanya pura-pura makan. Yang benar-benar makan hanya para tamu saja.
Suatu hari, anak kesayangan mereka meninggal. Waktu itu, sang ayah sedang di luar rumah. Sepulangnya di rumah, Abu Talhah mencari-cari anaknya. Kata isterinya, anaknya baik-baik saja. Seolah tidak terjadi apa-apa; malam itu Ummu Sulaim benar-benar melayani suaminya dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Esoknya, setelah suaminya lebih tenang. Ummu Sulaim bertanya kepada suaminya:
“Wahai suamiku, bagaimana menurutmu jika ada yang menitipkan barang kepadamu dan pemiliknya mengambilnya. Haruskah kita mengembalikannya, padahal kita sudah terlanjur suka dengan barang itu.”
“Iya, kita harus mengembalikannya. Itu bukan hak kita.”
“Suamiku, sesungguhnya, anak kita adalah titipan Allah. Dan Allah sudah mengambilnya dari kita.”
Lalu, dalam sejarah peradaban islam, anak hasil hubungan suami-isteri malam itu, tercatat memiliki tujuh keturunan yang semuanya hafal keseluruhan Al-Quran.
***
Itu cerita ayah menjelaskan maksud kata-katanya tadi. Ayah menceritakan betapa indahnya keluarga yang dilandasi dengan kecintaan kepada Allah. Ayah juga menjelaskan betapa pentingnya cinta ayah ke bunda dalam membesarkan aku dan Kak putri. Katanya, seorang ibu memiliki intensitas yang lebih banyak daripada ayah untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya, bahkan darah dan genetikanya tersalur langsung melalui air susu ibu. Biasanya, peran ibu juga sangat besar dalam membangun kebiasaan dan karakter anak-anaknya. Nah, kalau seoranng ibu tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ayah, ribut melulu sama ayah, terus mental dan psikologisnya enggak stabil, bisa dibayangkan apa efeknya buat anak-anak. Anak-anak tidak akan mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan pembelajaran yang cukup dari ibunya. Karena ibunya sendiri masih kekurangan itu. Kan susah kita ngasih sesuatu, yang kita sendiri nggak punya sesuatu itu. Termasuk, kasih sayang.
Makanya, mohon maaf ini mah, mereka yang kurang beruntung karena memiliki keluarga yang broken home, memilki peluang yang lebih besar untuk menjadi anak yang kurang baik, melakukan penyimpangan sebagai pelarian. Itu pentingnya, ayah harus benar-benar mencintai bunda. Semakin besar cinta yang dirasakan bunda, semakin besar juga perhatian dan kasih sayang yang bisa bunda berikan untuk anak-anaknya, semakin baik juga perkembangan anaknya.
Kalau masih bingung juga, Indonesia sendiri, sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia, memiliki angka perceraian mencapai dua ratus ribu pertahun dari dua juta angka pernikahan. Sepuluh persen. Artinya, dari seratus orang yang menikah, sepuluh orang diantaranya yang bercerai. Angka tertinggi diantara negara mayoritas muslim lainnya. Uniknya lagi, sebagain besar yang meminta perceraian itu adalah isteri, bukan suami. Tentu saja, karena suami dirasa masih belum bisa memberikan kasih sayang yang cukup kepada isteri tersebut. Kasih sayang dalam berbagai macam bentuknya.
***
“Ayah, bagaimana caranya agar kita mendapatkan pasangan yang baik?” Tanya Kak Putri, setelah mendengarkan cerita ayah
“Laki-laki yang baik hanya diperuntukkan bagi perempuan yang baik. Begitu sebaliknya. Karenanya, tidak ada hal yang lebih utama bagi laki-laki atau perempuan yang belum menggenapkan agamanya, selain menjaga dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya. Bagi ayah dan bunda yang sudah menikah? Sama saja. Bedanya, tanggung jawab kami lebih berat, karena harus mendidik kalian juga, sehingga usaha perbaikannya juga harus lebih keras.”
***
Perayaan anniversary itu selesai setelah makan-makan, pemberian hadiah kepada ayah-bunda, cerita ini itu tentang masa lalu ayah bunda, serta akan seperti apa masa depan keluarga kami. Malam ini, bunda lebih banyak diamnya. Entahlah. Mungkin karena terlalu bahagia. Kami masuk ke kamar masing-masing. Katanya, ayah dan bunda ingin melanjutkan merayakan ulang tahun pernikahannya berdua saja. Ehm, ehm. Maksudnya, mau saling mengevaluasi diri gitu. Sebelumnya, aku membantu Kak Putri membereskan ruang keluarga. Mengambil kertas berhiasan indah yang tertinggal, yang sengaja dibuat Kak Putri untuk disertakan pada kado ulang tahun pernikahan ayah dan bunda, tulisannya:
“Ayah, Bunda; kami mencintai kalian karena Allah.”
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
========================
“Ayah, mana yang lebih ayah cintai, bunda atau anak-anak bunda?” sengaja betul Kak Putri menggoda ayah dan bunda malam itu, malam ulang tahun pernikahan mereka.
“Ayah sayang kalian semua, Putri. Bunda, dan anak-anak ayah.”
“Aduh, Ayah. Kak Putri kan nanyanya yang lebih, berarti jawabannya kami atau bunda. Bukan semuanya.” Kali ini aku kompak dengan kak Putri, menggoda mereka. Sebenarnya kami sudah tahu jawabannya. Ya pasti bunda lah ya, bunda kan udah lebih lama hidup sama ayah. Udah merasakan kebahagiaan dan penderitaan bersama-sama. Kami hanya ingin mendengarkan kalimat itu langsung dari ayah.
“Ayo, makan dulu.” Bunda yang juga ada bersama kami berusaha mengalihkan suasana, tapi Kak Putri tetep ngotot.
“Jawab dulu, Ayah.”
“Iya deh, ayah jawab. Hmmm” Ayah diam sejenak. Kami semua penasaran menanti jawaban ayah. Kak Putri udah senyum-senyum aja.
“Siapa, Ayah? Siapa?” Aku udah enggak sabaran
“Tentu saja, ayah lebih mencintai anak-anak ayah daripada bunda. Lebih mementingkan anak-anak. Iya kan, Bunda?”
“Hah?” Aku dan kak Putri cuma melotot kaget, bunda tidak menjawab, mukanya sedikit cemberut. Cemburu, lucu deh ngeliatnya.
“Kalian tahu, apa hal paling penting yang harus dilakukan seorang ayah demi anak-anaknya?
“Apa emang, Ayah?”
“Mencintai ibu mereka dengan cinta yang setulus-tulusnya, dengan cinta yang sebesar-besarnya.”
Aih, wajah si bunda langsung merona merah, walaupun ditahan-tahan. Lebih lucu daripada wajah cemberut sebelumnya.
Sayangnya, tak akan ada cinta yang seperti itu, tanpa dilandasi cinta kepada Allah. Karena sejatinya, ketulusan itu selalu berhubungan dengan Allah.” Kami malah bingung dengan kata-kata Ayah.
“Maksudnya, Yah?”
***
Sekian belas abad silam, tersebutlah wanita sederhana nan mulia bernama Ummu Sulaim. Adalah Abu Talhah, pria paling kaya diantara kaumnya, yang sangat ingin menikahi janda yang mulia itu. Sayangnya, mereka berbeda akidah. Sedangkan bagi Ummu Sulaim, tak ada pernikahan dengan akidah yang berbeda. Karena cintanya terhadap Ummu Sulaim, Abu Talhah berpindah akidah. Mereka menikah dengan mahar paling indah yang tidak akan pernah dilupakan oleh penduduk langit; syahadat untuk keislaman Abu Talhah.
Merekalah, pasangan yang diabadikan di salah satu ayat Allah, karena bersedia menjamu tamu padahal waktu itu mereka hanya punya makanan yang cukup untuk keluarga sendiri (semenjak masuk islam, hampir seluruh kekayaan Abu Talhah dibagi-bagikan). Akhirnya, anaknya hanya diberikan minum dan ditidurkan, sementara dalam suasana remang, suami-isteri itu hanya pura-pura makan. Yang benar-benar makan hanya para tamu saja.
Suatu hari, anak kesayangan mereka meninggal. Waktu itu, sang ayah sedang di luar rumah. Sepulangnya di rumah, Abu Talhah mencari-cari anaknya. Kata isterinya, anaknya baik-baik saja. Seolah tidak terjadi apa-apa; malam itu Ummu Sulaim benar-benar melayani suaminya dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Esoknya, setelah suaminya lebih tenang. Ummu Sulaim bertanya kepada suaminya:
“Wahai suamiku, bagaimana menurutmu jika ada yang menitipkan barang kepadamu dan pemiliknya mengambilnya. Haruskah kita mengembalikannya, padahal kita sudah terlanjur suka dengan barang itu.”
“Iya, kita harus mengembalikannya. Itu bukan hak kita.”
“Suamiku, sesungguhnya, anak kita adalah titipan Allah. Dan Allah sudah mengambilnya dari kita.”
Lalu, dalam sejarah peradaban islam, anak hasil hubungan suami-isteri malam itu, tercatat memiliki tujuh keturunan yang semuanya hafal keseluruhan Al-Quran.
***
Itu cerita ayah menjelaskan maksud kata-katanya tadi. Ayah menceritakan betapa indahnya keluarga yang dilandasi dengan kecintaan kepada Allah. Ayah juga menjelaskan betapa pentingnya cinta ayah ke bunda dalam membesarkan aku dan Kak putri. Katanya, seorang ibu memiliki intensitas yang lebih banyak daripada ayah untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya, bahkan darah dan genetikanya tersalur langsung melalui air susu ibu. Biasanya, peran ibu juga sangat besar dalam membangun kebiasaan dan karakter anak-anaknya. Nah, kalau seoranng ibu tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ayah, ribut melulu sama ayah, terus mental dan psikologisnya enggak stabil, bisa dibayangkan apa efeknya buat anak-anak. Anak-anak tidak akan mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan pembelajaran yang cukup dari ibunya. Karena ibunya sendiri masih kekurangan itu. Kan susah kita ngasih sesuatu, yang kita sendiri nggak punya sesuatu itu. Termasuk, kasih sayang.
Makanya, mohon maaf ini mah, mereka yang kurang beruntung karena memiliki keluarga yang broken home, memilki peluang yang lebih besar untuk menjadi anak yang kurang baik, melakukan penyimpangan sebagai pelarian. Itu pentingnya, ayah harus benar-benar mencintai bunda. Semakin besar cinta yang dirasakan bunda, semakin besar juga perhatian dan kasih sayang yang bisa bunda berikan untuk anak-anaknya, semakin baik juga perkembangan anaknya.
Kalau masih bingung juga, Indonesia sendiri, sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia, memiliki angka perceraian mencapai dua ratus ribu pertahun dari dua juta angka pernikahan. Sepuluh persen. Artinya, dari seratus orang yang menikah, sepuluh orang diantaranya yang bercerai. Angka tertinggi diantara negara mayoritas muslim lainnya. Uniknya lagi, sebagain besar yang meminta perceraian itu adalah isteri, bukan suami. Tentu saja, karena suami dirasa masih belum bisa memberikan kasih sayang yang cukup kepada isteri tersebut. Kasih sayang dalam berbagai macam bentuknya.
***
“Ayah, bagaimana caranya agar kita mendapatkan pasangan yang baik?” Tanya Kak Putri, setelah mendengarkan cerita ayah
“Laki-laki yang baik hanya diperuntukkan bagi perempuan yang baik. Begitu sebaliknya. Karenanya, tidak ada hal yang lebih utama bagi laki-laki atau perempuan yang belum menggenapkan agamanya, selain menjaga dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya. Bagi ayah dan bunda yang sudah menikah? Sama saja. Bedanya, tanggung jawab kami lebih berat, karena harus mendidik kalian juga, sehingga usaha perbaikannya juga harus lebih keras.”
***
Perayaan anniversary itu selesai setelah makan-makan, pemberian hadiah kepada ayah-bunda, cerita ini itu tentang masa lalu ayah bunda, serta akan seperti apa masa depan keluarga kami. Malam ini, bunda lebih banyak diamnya. Entahlah. Mungkin karena terlalu bahagia. Kami masuk ke kamar masing-masing. Katanya, ayah dan bunda ingin melanjutkan merayakan ulang tahun pernikahannya berdua saja. Ehm, ehm. Maksudnya, mau saling mengevaluasi diri gitu. Sebelumnya, aku membantu Kak Putri membereskan ruang keluarga. Mengambil kertas berhiasan indah yang tertinggal, yang sengaja dibuat Kak Putri untuk disertakan pada kado ulang tahun pernikahan ayah dan bunda, tulisannya:
“Ayah, Bunda; kami mencintai kalian karena Allah.”
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
kriteria
[part-1]
============
“Ayah, kayaknya aku lagi suka deh sama seseorang. Adik tingkat di fakultas. Sesuai banget dengan kriteria yang aku pengen. Baik, sederhana, cantik juga sholehah.” Aku memulai pembicaraan dengan malu-malu. Sedari kecil, keuargaku emang sudah membiasakan untuk saling terbuka satu sama yang lainnya termasuk dalam hal perasaan. Walaupun untuk hal-hal tertentu, aku lebih seneng terbuka sama ayah daripada Bunda. Kak Putri juga sama, untuk hal-hal yang berhubungan dengan keperempuanan, biasanya doi lebih seneng ngobrol sama bunda di forum perempuan mereka yang ramenya masya allah, khas kaum hawa kalo lagi ngerumpi.
Ayah pernah bilang kalau dalam keluarga kami, setiap orang harus bertanggungjawab satu sama yang lainnya. Jika satu orang terkena masalah, maka itu akan jadi masalah keluarga bersama-sama. Tentu saja kami diberikan kewenangan untuk menentukan, mana masalah-masalah yang layak dikatagorikan masalah keluarga, mana yang cukup menjadi masalah pribadi. Yang menjadi masalah keluarga ya dimusywarahkan di forum keluarga. Yang masalah pribadi tapi butuh masukan, biasanya dibicarakan personal seperti yang sedang ku lakukan bersama ayah ini.
“So?” ayah menanggapi dengan mata penasaran sambil senyum-senyum gitu
“Akunya harus gimana dong? Di satu sisi aku tahu itu salah, belum saatnya. Belum siap nikah juga. Pasti enggak boleh juga sama bunda kalau pacaran, bisa diceramahin tiga hari tiga malam lebih kalau ketahuan bunda. Di sisi lain, enggak tahu kenapa susah banget buat ngelupain dia. Apalagi sering ketemu kalau ada di kampus. Any idea?” Ayah hanya tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.
“Coba tanya kepada orang yang sedang jatuh cinta, tentang apa yang membuatnya mencintai seseorang? Jawabannya boleh beraneka ragam, sesuai dengan selera, kriteria atau pengalaman masing-masing. Seperti yang kamu sampaikan tadi. Tapi segala jawaban selalu berujung pada kebaikan dan kelebihan orang yang dicintai. Tak pernah terdengar dalam kisah paling romantis sekalipun, kalau seseorang mencintai orang yang lainnya karena keburukan, kejelekan dan kekurangannya.”
“Lah iya lah, Ayah.” Aku tertawa mendengar penjelasan ayah.
“Artinya, cinta hanyalah ukuran suka kita terhadap seseorang. Cinta tidak mengukur tentang apa yang tidak kita suka. Padahal dalam diri seseorang, seberapa cintapun kita terhadapnya, pasti memiliki kekurangan selain kelebihan. Pasti memiliki sisi, yang kita enggak suka banget dengan sisi itu. Apakah cinta bisa mengatasinya?”
“Maksudnya, Yah?”
“Misalkan, kalau ada laki-laki yang mencintai perempuan karena kecantikannya. Apakah cinta itu masih ada kalau dia enggak cantik lagi? Apakah cinta itu akan membesar jika kecantikannya semakin berkurang? Atau kalau kamu mencintai seseorang karena orang itu baik, apakah cinta itu akan tetap sama kalau kamu mengetahui keburukan dari orang tersebut, apalagi jika keburukannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya. Bahkan, kalau kamu mencintai seseorang karena kesholehan-nya, apa iya, kamu sudah siap jika ternyata suatu hari dia berubah, kemudian perubahnnya malah membuat kamu semakin jauh dari kebaikan. Semakin jauh dari kesholehan itu sendiri?”
“Iya juga ya, Yah?”
“Itulah kenapa banyak orang yang dulunya mengaku cinta setengah mati, tapi rumah tangganya berantakan dan berujung perpisahan. Itulah kenapa banyak orang terdahulu, yang jarang banget mengungkapkan cinta, tapi rumahtangganya langgeng sampai mati. Karena sebenarnya, dalam perkara ini ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar cinta, yang bisa menyelesaikan masalah seperti yang ayah tanyakan tadi.”
Ayah berhenti sejenak, memberiku kesempatan untuk mencerna maksud perkataannya. Tapi aku tak sabar untuk mendengar kelanjutannya.
“Terus, Yah?”
“Nah, karena cinta hanya berbicara tentang apa yang kita suka. Bisa jadi pada saat mencintai orang lain, sebenarnya kita hanya sedang mencintai sebagian diri kita yang hidup pada orang tersebut. Atau kita sedang menemukan sesuatu yang kita inginkan, tidak ada dalam diri kita dan ada dalam diri orang tersebut. Coba deh, kamu cek lagi perasaan kamu itu, bener nggak seperti itu. Kamu hanya melihat perempuan tadi, dari sisi kelebihannya saja. Dari sisi yang kebetulan, kelebihannya adalah apa yang kamu suka atau apa yang kamu inginkan tapi belum ada di diri kamu.”
“He,, he.. “ aku cuma tersenyum malu, sebagai bentuk pengakuan memang begitulah adanya. Ayah membalasnya dengan senyuman mengerti, lalu melanjutkan:
“Itulah kenapa sumber cinta yang utama adalah Allah, karena semua tentang Allah adalah kebaikan, kelebihan, keindahan, dan kesempurnaaan. Tak ada keburukan di dalamnya. Itulah kenapa yang harus diteladani adalah cintanya rasullah. Karena beliaulah manusia paling sempurna, yang walaupun tak luput dari kesalahan sebagai seorang manusia, setidaknya beliau selalu dijaga dari segala keburukan.”
“Terus, gimana dong caranya untuk melupakan perempuan tadi?”
“Cinta itu perasaan. Dan perasaan selalu bersifat relatif. Di setiap tempat, kamu akan menemukan siapa yang paling cantik, siapa yang paling baik, siapa yang paling sholehah, dan siapa yang paling-paling lainnya. Kamu memilih untuk mencintai perempuan tadi, itu karena secara tidak sadar, otak kamu membanding-bandingkan antara perempuan yang pernah kamu kenal, dekat dengan kamu, dan hasilnya perempuan tadilah yang paling sesuai dengan kriteria atau apa yang kamu inginkan.”
“Terus hubungannya apa ya, Ayah?”
“Karena sifatnya relatif, kalau tempatnya kamu perluas lagi, kalau kamu punya lingkungan baru, yang lebih banyak, kamu selalu bisa menemukan perempuan yang lebih baik darinya. Selalu saja begitu. Kalau kamu mau membuka hati dan tidak terjebak dalam perasaan yang sifatnya relatif tadi. Makanya, kalau mau berteman dengan perempuan, agar tidak terjebak pada perasaan-perasaan seperti itu, perasaan relatif yang belum pada tempat dan waktunya, dari awal harus tegas membuat batasan dengan hati kamu. Bilang ke hati kamu, siapapun perempuan yang dekat sama kamu, yang sering bertemu, berdiskusi dan sebagainya: hanya sebatas teman. Cukup. Tidak lebih. Kalaupun dia cantik, baik, juga sholehah, pasti ada perempuan lain di tempat yang lain, yang jauh cantik, lebih baik dan juga lebih sholehah daripada dirinya. Kalaupun separah-parahnya, kamu berjodoh dengan perempuan yang standarnya jauh lebih rendah daripada perempuan tadi; itu karena perempuan yang kelak akan menjadi jodoh kamu itu adalah yang terbaik buat kamu.”
“Tapi, hati kita kan enggak bisa bohong, Yah? Kalau kita suka, ya suka. Bukannya kita harus mengikuti kata hati ya?”
“Haha. Hati emang nggak bisa bohong. Tapi hati sangat bisa untuk salah. Misalanya, katakanlah perempuan yang kamu sukai tadi sudah menikah dengan orang lain, hati kamu mungkin tidak bisa bohong kalau kamu masih suka, kalau kamu masih berharap, kalau kamu merasa kecewa. Tapi apa dibenarkan mencintai perempuan yang sudah menjadi suami orang lain? Makanya, sebelum kamu mengikuti kata hatimu, jaga dulu hati kamu, lalu periksa apakah suara hati kamu itu udah bener atau belum. Kalau udah bener, baru boleh diikuti.” Aku cuma senyum cengengasan, sambil manggut-manggut.
***
“Oh iya, Ayah, kenapa dulu Ayah memilih bunda sebagai pendamping hidup?” Baru saja ayah mau menjawab, tapi keduluan sama teriakan keras seorang perempuan:
“Ayah, Putra, ayo makan malam dulu. Makanannya sudah siap. Sudah laper nih.”
Tentu saja itu suara kak Putri. Secerewet-cerewetnya bunda, enggak mungkin bunda teriak-teriak model begitu. Biasanya kalau bunda yang manggil, bunda akan langsung mendatangi kami, tersenyum lembut, basa-basi sebentar, baru mengajak makan. Tapi siapapun yang memanggil, kami harus segera menuju ruang makan. Pembicaraan pun harus ditunda sementara waktu.
bersambung ke part-2
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
============
“Ayah, kayaknya aku lagi suka deh sama seseorang. Adik tingkat di fakultas. Sesuai banget dengan kriteria yang aku pengen. Baik, sederhana, cantik juga sholehah.” Aku memulai pembicaraan dengan malu-malu. Sedari kecil, keuargaku emang sudah membiasakan untuk saling terbuka satu sama yang lainnya termasuk dalam hal perasaan. Walaupun untuk hal-hal tertentu, aku lebih seneng terbuka sama ayah daripada Bunda. Kak Putri juga sama, untuk hal-hal yang berhubungan dengan keperempuanan, biasanya doi lebih seneng ngobrol sama bunda di forum perempuan mereka yang ramenya masya allah, khas kaum hawa kalo lagi ngerumpi.
Ayah pernah bilang kalau dalam keluarga kami, setiap orang harus bertanggungjawab satu sama yang lainnya. Jika satu orang terkena masalah, maka itu akan jadi masalah keluarga bersama-sama. Tentu saja kami diberikan kewenangan untuk menentukan, mana masalah-masalah yang layak dikatagorikan masalah keluarga, mana yang cukup menjadi masalah pribadi. Yang menjadi masalah keluarga ya dimusywarahkan di forum keluarga. Yang masalah pribadi tapi butuh masukan, biasanya dibicarakan personal seperti yang sedang ku lakukan bersama ayah ini.
“So?” ayah menanggapi dengan mata penasaran sambil senyum-senyum gitu
“Akunya harus gimana dong? Di satu sisi aku tahu itu salah, belum saatnya. Belum siap nikah juga. Pasti enggak boleh juga sama bunda kalau pacaran, bisa diceramahin tiga hari tiga malam lebih kalau ketahuan bunda. Di sisi lain, enggak tahu kenapa susah banget buat ngelupain dia. Apalagi sering ketemu kalau ada di kampus. Any idea?” Ayah hanya tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.
“Coba tanya kepada orang yang sedang jatuh cinta, tentang apa yang membuatnya mencintai seseorang? Jawabannya boleh beraneka ragam, sesuai dengan selera, kriteria atau pengalaman masing-masing. Seperti yang kamu sampaikan tadi. Tapi segala jawaban selalu berujung pada kebaikan dan kelebihan orang yang dicintai. Tak pernah terdengar dalam kisah paling romantis sekalipun, kalau seseorang mencintai orang yang lainnya karena keburukan, kejelekan dan kekurangannya.”
“Lah iya lah, Ayah.” Aku tertawa mendengar penjelasan ayah.
“Artinya, cinta hanyalah ukuran suka kita terhadap seseorang. Cinta tidak mengukur tentang apa yang tidak kita suka. Padahal dalam diri seseorang, seberapa cintapun kita terhadapnya, pasti memiliki kekurangan selain kelebihan. Pasti memiliki sisi, yang kita enggak suka banget dengan sisi itu. Apakah cinta bisa mengatasinya?”
“Maksudnya, Yah?”
“Misalkan, kalau ada laki-laki yang mencintai perempuan karena kecantikannya. Apakah cinta itu masih ada kalau dia enggak cantik lagi? Apakah cinta itu akan membesar jika kecantikannya semakin berkurang? Atau kalau kamu mencintai seseorang karena orang itu baik, apakah cinta itu akan tetap sama kalau kamu mengetahui keburukan dari orang tersebut, apalagi jika keburukannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya. Bahkan, kalau kamu mencintai seseorang karena kesholehan-nya, apa iya, kamu sudah siap jika ternyata suatu hari dia berubah, kemudian perubahnnya malah membuat kamu semakin jauh dari kebaikan. Semakin jauh dari kesholehan itu sendiri?”
“Iya juga ya, Yah?”
“Itulah kenapa banyak orang yang dulunya mengaku cinta setengah mati, tapi rumah tangganya berantakan dan berujung perpisahan. Itulah kenapa banyak orang terdahulu, yang jarang banget mengungkapkan cinta, tapi rumahtangganya langgeng sampai mati. Karena sebenarnya, dalam perkara ini ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar cinta, yang bisa menyelesaikan masalah seperti yang ayah tanyakan tadi.”
Ayah berhenti sejenak, memberiku kesempatan untuk mencerna maksud perkataannya. Tapi aku tak sabar untuk mendengar kelanjutannya.
“Terus, Yah?”
“Nah, karena cinta hanya berbicara tentang apa yang kita suka. Bisa jadi pada saat mencintai orang lain, sebenarnya kita hanya sedang mencintai sebagian diri kita yang hidup pada orang tersebut. Atau kita sedang menemukan sesuatu yang kita inginkan, tidak ada dalam diri kita dan ada dalam diri orang tersebut. Coba deh, kamu cek lagi perasaan kamu itu, bener nggak seperti itu. Kamu hanya melihat perempuan tadi, dari sisi kelebihannya saja. Dari sisi yang kebetulan, kelebihannya adalah apa yang kamu suka atau apa yang kamu inginkan tapi belum ada di diri kamu.”
“He,, he.. “ aku cuma tersenyum malu, sebagai bentuk pengakuan memang begitulah adanya. Ayah membalasnya dengan senyuman mengerti, lalu melanjutkan:
“Itulah kenapa sumber cinta yang utama adalah Allah, karena semua tentang Allah adalah kebaikan, kelebihan, keindahan, dan kesempurnaaan. Tak ada keburukan di dalamnya. Itulah kenapa yang harus diteladani adalah cintanya rasullah. Karena beliaulah manusia paling sempurna, yang walaupun tak luput dari kesalahan sebagai seorang manusia, setidaknya beliau selalu dijaga dari segala keburukan.”
“Terus, gimana dong caranya untuk melupakan perempuan tadi?”
“Cinta itu perasaan. Dan perasaan selalu bersifat relatif. Di setiap tempat, kamu akan menemukan siapa yang paling cantik, siapa yang paling baik, siapa yang paling sholehah, dan siapa yang paling-paling lainnya. Kamu memilih untuk mencintai perempuan tadi, itu karena secara tidak sadar, otak kamu membanding-bandingkan antara perempuan yang pernah kamu kenal, dekat dengan kamu, dan hasilnya perempuan tadilah yang paling sesuai dengan kriteria atau apa yang kamu inginkan.”
“Terus hubungannya apa ya, Ayah?”
“Karena sifatnya relatif, kalau tempatnya kamu perluas lagi, kalau kamu punya lingkungan baru, yang lebih banyak, kamu selalu bisa menemukan perempuan yang lebih baik darinya. Selalu saja begitu. Kalau kamu mau membuka hati dan tidak terjebak dalam perasaan yang sifatnya relatif tadi. Makanya, kalau mau berteman dengan perempuan, agar tidak terjebak pada perasaan-perasaan seperti itu, perasaan relatif yang belum pada tempat dan waktunya, dari awal harus tegas membuat batasan dengan hati kamu. Bilang ke hati kamu, siapapun perempuan yang dekat sama kamu, yang sering bertemu, berdiskusi dan sebagainya: hanya sebatas teman. Cukup. Tidak lebih. Kalaupun dia cantik, baik, juga sholehah, pasti ada perempuan lain di tempat yang lain, yang jauh cantik, lebih baik dan juga lebih sholehah daripada dirinya. Kalaupun separah-parahnya, kamu berjodoh dengan perempuan yang standarnya jauh lebih rendah daripada perempuan tadi; itu karena perempuan yang kelak akan menjadi jodoh kamu itu adalah yang terbaik buat kamu.”
“Tapi, hati kita kan enggak bisa bohong, Yah? Kalau kita suka, ya suka. Bukannya kita harus mengikuti kata hati ya?”
“Haha. Hati emang nggak bisa bohong. Tapi hati sangat bisa untuk salah. Misalanya, katakanlah perempuan yang kamu sukai tadi sudah menikah dengan orang lain, hati kamu mungkin tidak bisa bohong kalau kamu masih suka, kalau kamu masih berharap, kalau kamu merasa kecewa. Tapi apa dibenarkan mencintai perempuan yang sudah menjadi suami orang lain? Makanya, sebelum kamu mengikuti kata hatimu, jaga dulu hati kamu, lalu periksa apakah suara hati kamu itu udah bener atau belum. Kalau udah bener, baru boleh diikuti.” Aku cuma senyum cengengasan, sambil manggut-manggut.
***
“Oh iya, Ayah, kenapa dulu Ayah memilih bunda sebagai pendamping hidup?” Baru saja ayah mau menjawab, tapi keduluan sama teriakan keras seorang perempuan:
“Ayah, Putra, ayo makan malam dulu. Makanannya sudah siap. Sudah laper nih.”
Tentu saja itu suara kak Putri. Secerewet-cerewetnya bunda, enggak mungkin bunda teriak-teriak model begitu. Biasanya kalau bunda yang manggil, bunda akan langsung mendatangi kami, tersenyum lembut, basa-basi sebentar, baru mengajak makan. Tapi siapapun yang memanggil, kami harus segera menuju ruang makan. Pembicaraan pun harus ditunda sementara waktu.
bersambung ke part-2
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
kriteria-2
[part-2]
================
Selesai makan malam. Aku langsung menculik ayah dari ruang makan. Enggak sabar melanjutkan pembicaraan yang tertunda.
***
“Ayah, ayo ceritain lagi, apa yang membuat Ayah dulu memilih bunda sebagai pendamping hidup?”
“Komitmen.”
“Hah, cuma itu, Ayah? Emang Ayah enggak cinta gitu sama bunda?” aku kaget denger jawaban ayah yang simple banget
“Ehm, gimana ya?”Ayah sok mikir, sengaja bener ingin buat aku penasaran
“Cinta sih, tapi bukan itu alasan utamanya. Kalau alasan utamanya cinta, bukan bunda yang ayah nikahi. Tapi perempuan yang lainnya. Perempuan yang benar-benar sesuai dengan kriteria ayah.”
“Nah loh, maksudnya gimana?”
“Kan dulu Ayah pernah cerita, kalau sebelum menikah dengan bunda, ayah sempat berganti pacar beberapa kali. Dan jujur ya, kalau ngomongin cinta, cintanya ayah ke bunda waktu itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan cintanya ayah ke pacar-pacar sebelumnya. Artinya, kalau pertimbangan utamanya cinta, Ayah pasti akan mencari perempuan lain yang lebih ayah cintai, bukan bunda yang awalnya hanya pelarian saja setelah Ayah putus dari pacar yang sebelumnya.”
“Waduh, jadi bunda Cuma pelarian aja buat Ayah, perempuan cadangan gitu?” enggak tahu kenapa, tiba-tiba aku jadi emosi.
“Iya. Tapi itu kan dulu, waktu ayah masih belum ngerti.”
“Terus gimana ceritanya Ayah bisa memutuskan untuk menikah dengan bunda?”
“Ceritanya, memasuki bulan ketiga ayah pacaran sama bunda, enggak tahu kesambet malaikat dari mana, tiba-tiba bunda ngajakin nikah. Katanya, bunda enggak mau pacaran lagi. Kalau mau, nikahi bunda secepatnya, atau bunda minta putus aja. Terus bakalan cari laki-laki lain yang mau jadi suaminya bunda. Waktu itu ayah bingung banget kan. Enggak ada rencana sama sekali untuk menikah cepat. Bahkan enggak ada rencana buat nikahin bunda. Orang tujuannya mau pacaran doang kok.”
“Terus kalau gitu, kenapa enggak diputusin aja bundanya. Kok malah dinikahin sih?”
“Sebenarnya waktu itu ayah mau langsung putusin bunda. Nothing to lose lah ya. Lagian kan ayah enggak cinta-cinta banget sama bunda. Tapi gengsi dong, kesannya kalau langsung bilang putus gitu, kayaknya enggak gentle banget. Enggak bertanggungjawab. Akhirnya, ayah basa-basi minta waktu seminggu buat memikirkan dulu. Baru ngasih keputusan ke bunda. Padahal waktu itu, ayah udah punya jawabannya.”
“Terus, terus?”
“Nah, waktu seminggu itu, iseng-iseng Ayah mikirin bunda. Terus Ayah merenung gitu deh. Sebenernya mau apa sih? Mau cari perempuan yang kayak gimana lagi? Udah nemu sama yang sesuai dengan kriteria banget, ideal menurut Ayah, udah dipacarin juga, tapi putus juga tuh, masih banyak kurangnya juga, masih banyak yang enggak cocoknya juga. Padahal belum apa-apa. Apalagi kalau nanti menjalani kehidupan keluarga yang lebih rumit. Enggak ada yang bisa menjamin. Termasuk cinta. Terus kenapa dipacarin kalau enggak mau dinikahin. Kenapa harus mempermainkan perasaan sendiri dan orang lain kalau nantinya enggak hidup bareng. Dan kenapa-kenapa yang lainnya, yang Ayah sendiri enggak bisa jawab.”
“Ceritanya Ayah tobat gitu ya?” tanyaku sambi tersenyum
“Belum sih. Masih bingung. Masih belum tahu kenapa dan harus apa. Terus ayah sampai pada kesimpulan; kalau dipikir-pikir, sebenarnya siapapun yang jadi pendamping hidup ayah, pasti punya kelemahan. Seideal apapun perempuan itu. Jadi masalahnya bukan tentang seberapa ideal atau seberapa sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Tapi tentang bagaimana kita menyikapi kelemahan masing-masing. Kalau kitanya egois, mau menang sendiri, ya pasti ujung-ujungnya banyak ributnya, terus putus kayak pacar-pacar yang sebelumnya.”
“Tapi kalau sama-sama memiliki komitmen untuk saling menerima, untuk saling memperbaiki, untuk saling mengisi, memahami juga menghargai, sekurang ideal apapun pasangan kita, sekurang sesuai apapun dengan kriteria yang kita inginkan, harusnya tidak akan terlalu bermasalah, kalau kita punya niat yang benar untuk membangun keluarga yang baik, juga punya komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Bersama siapapun yang menjadi pasangan hidup kita.”
“Dan bunda punya itu?”
“Iya. Bundamu punya komitmen itu. Seminggu kemudian sebelum ayah memberikan jawaban ke bunda, ayah bertanya tentang kenapa bunda memberikan pilihan itu kepada ayah, dan apa rencana bunda kalau kami menikah kelak.”
“Terus jawaban bunda apa, Ayah?”
“Jawaban lengkapnya, nanti kamu tanya saja ke bundanya langsung. Intinya, bunda menawarkan komitmen itu kepada ayah dan meminta ayah juga memberikan komitmen yang sama. Enggak menuntut apa-apa dan enggak aneh-aneh. Karena ayah sepemikiran dengan bunda, dan ayah juga tahu kalau bunda itu selalu menepati janji, enggak pernah macem-macem juga, ayah bilang ke bunda jawabannya iya. Ayah mau nikahin bunda.”
“Berarti cinta itu enggak penting dong ayah?”
“Penting. Tetap penting. Siapa yang mau hidup bersama tanpa perasaan cinta. Hanya saja itu bukan yang paling utama. Dalam diri manusia, komitmen berada pada area yang jauh lebih rasional daripada cinta. Cinta lebih banyak didominasi oleh perasaan, yang kadang enggak masuk akal. Bahkan bagi orang-orang yang enggak bisa mengendalikannya, perasaan itu jadi enggak seimbang. Karena cinta mendominasi sebagian besar perasaan yang diisi dengan harapan selalu bahagia. Padahal, Allah itu menciptakan begitu banyak rasa, bukan hanya bahagia saja. Padahal sejatinya, sumber kebahagiaan itu bukan cinta. Tapi pada bagaimana kita menerima dan mensyukuri apa yang sudah Allah berikan kepada kita. Cinta hanyalah salah satunya. Bukan satu-satunya.”
“Berbeda dengan cinta, komitmen memberikan kesiapan tersendiri untuk menghadapi hal yang tidak disukai oleh masing-masing. Komitmen menyadarkan bahwa sebagaimana kehidupan pada umumnya, dalam rumah tangga akan banyak masalah dan ujian yang harus dihadapi bersama. Dan seberat apapun ujian itu, komitmen akan memberikan kepercayaan dan keyakinan tersendiri, kalau kita bisa mengatasinya bersama-sama. Kalau rasa cinta, biasanya enggak akan sedalam dan sejauh itu.
“Lagian, rumah tangga tidak otomatis memberikan kebahagiaan pada yang menjalaninya. Kalau otomatis begitu, pastinya enggak ada pasangan yang bercerai. Tapi rumahtangga memberikan kesempatan untuk menghadapi semuanya bersama-sama. Untuk sama-sama mencari kebahagian, untuk sama-sama mengatasi kesedihan. Mengenai bagaimana hasilnya, ditentukan dari seberapa besar komitmen masing-masing dalam menjalankannya. Bukan sekedar pada perasaan cinta yang dimilikinya.”
“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?”
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah menikah dengan bunda, Ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya bundamu itu.”
“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”
*** bersambung ke part-3
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
================
Selesai makan malam. Aku langsung menculik ayah dari ruang makan. Enggak sabar melanjutkan pembicaraan yang tertunda.
***
“Ayah, ayo ceritain lagi, apa yang membuat Ayah dulu memilih bunda sebagai pendamping hidup?”
“Komitmen.”
“Hah, cuma itu, Ayah? Emang Ayah enggak cinta gitu sama bunda?” aku kaget denger jawaban ayah yang simple banget
“Ehm, gimana ya?”Ayah sok mikir, sengaja bener ingin buat aku penasaran
“Cinta sih, tapi bukan itu alasan utamanya. Kalau alasan utamanya cinta, bukan bunda yang ayah nikahi. Tapi perempuan yang lainnya. Perempuan yang benar-benar sesuai dengan kriteria ayah.”
“Nah loh, maksudnya gimana?”
“Kan dulu Ayah pernah cerita, kalau sebelum menikah dengan bunda, ayah sempat berganti pacar beberapa kali. Dan jujur ya, kalau ngomongin cinta, cintanya ayah ke bunda waktu itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan cintanya ayah ke pacar-pacar sebelumnya. Artinya, kalau pertimbangan utamanya cinta, Ayah pasti akan mencari perempuan lain yang lebih ayah cintai, bukan bunda yang awalnya hanya pelarian saja setelah Ayah putus dari pacar yang sebelumnya.”
“Waduh, jadi bunda Cuma pelarian aja buat Ayah, perempuan cadangan gitu?” enggak tahu kenapa, tiba-tiba aku jadi emosi.
“Iya. Tapi itu kan dulu, waktu ayah masih belum ngerti.”
“Terus gimana ceritanya Ayah bisa memutuskan untuk menikah dengan bunda?”
“Ceritanya, memasuki bulan ketiga ayah pacaran sama bunda, enggak tahu kesambet malaikat dari mana, tiba-tiba bunda ngajakin nikah. Katanya, bunda enggak mau pacaran lagi. Kalau mau, nikahi bunda secepatnya, atau bunda minta putus aja. Terus bakalan cari laki-laki lain yang mau jadi suaminya bunda. Waktu itu ayah bingung banget kan. Enggak ada rencana sama sekali untuk menikah cepat. Bahkan enggak ada rencana buat nikahin bunda. Orang tujuannya mau pacaran doang kok.”
“Terus kalau gitu, kenapa enggak diputusin aja bundanya. Kok malah dinikahin sih?”
“Sebenarnya waktu itu ayah mau langsung putusin bunda. Nothing to lose lah ya. Lagian kan ayah enggak cinta-cinta banget sama bunda. Tapi gengsi dong, kesannya kalau langsung bilang putus gitu, kayaknya enggak gentle banget. Enggak bertanggungjawab. Akhirnya, ayah basa-basi minta waktu seminggu buat memikirkan dulu. Baru ngasih keputusan ke bunda. Padahal waktu itu, ayah udah punya jawabannya.”
“Terus, terus?”
“Nah, waktu seminggu itu, iseng-iseng Ayah mikirin bunda. Terus Ayah merenung gitu deh. Sebenernya mau apa sih? Mau cari perempuan yang kayak gimana lagi? Udah nemu sama yang sesuai dengan kriteria banget, ideal menurut Ayah, udah dipacarin juga, tapi putus juga tuh, masih banyak kurangnya juga, masih banyak yang enggak cocoknya juga. Padahal belum apa-apa. Apalagi kalau nanti menjalani kehidupan keluarga yang lebih rumit. Enggak ada yang bisa menjamin. Termasuk cinta. Terus kenapa dipacarin kalau enggak mau dinikahin. Kenapa harus mempermainkan perasaan sendiri dan orang lain kalau nantinya enggak hidup bareng. Dan kenapa-kenapa yang lainnya, yang Ayah sendiri enggak bisa jawab.”
“Ceritanya Ayah tobat gitu ya?” tanyaku sambi tersenyum
“Belum sih. Masih bingung. Masih belum tahu kenapa dan harus apa. Terus ayah sampai pada kesimpulan; kalau dipikir-pikir, sebenarnya siapapun yang jadi pendamping hidup ayah, pasti punya kelemahan. Seideal apapun perempuan itu. Jadi masalahnya bukan tentang seberapa ideal atau seberapa sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Tapi tentang bagaimana kita menyikapi kelemahan masing-masing. Kalau kitanya egois, mau menang sendiri, ya pasti ujung-ujungnya banyak ributnya, terus putus kayak pacar-pacar yang sebelumnya.”
“Tapi kalau sama-sama memiliki komitmen untuk saling menerima, untuk saling memperbaiki, untuk saling mengisi, memahami juga menghargai, sekurang ideal apapun pasangan kita, sekurang sesuai apapun dengan kriteria yang kita inginkan, harusnya tidak akan terlalu bermasalah, kalau kita punya niat yang benar untuk membangun keluarga yang baik, juga punya komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Bersama siapapun yang menjadi pasangan hidup kita.”
“Dan bunda punya itu?”
“Iya. Bundamu punya komitmen itu. Seminggu kemudian sebelum ayah memberikan jawaban ke bunda, ayah bertanya tentang kenapa bunda memberikan pilihan itu kepada ayah, dan apa rencana bunda kalau kami menikah kelak.”
“Terus jawaban bunda apa, Ayah?”
“Jawaban lengkapnya, nanti kamu tanya saja ke bundanya langsung. Intinya, bunda menawarkan komitmen itu kepada ayah dan meminta ayah juga memberikan komitmen yang sama. Enggak menuntut apa-apa dan enggak aneh-aneh. Karena ayah sepemikiran dengan bunda, dan ayah juga tahu kalau bunda itu selalu menepati janji, enggak pernah macem-macem juga, ayah bilang ke bunda jawabannya iya. Ayah mau nikahin bunda.”
“Berarti cinta itu enggak penting dong ayah?”
“Penting. Tetap penting. Siapa yang mau hidup bersama tanpa perasaan cinta. Hanya saja itu bukan yang paling utama. Dalam diri manusia, komitmen berada pada area yang jauh lebih rasional daripada cinta. Cinta lebih banyak didominasi oleh perasaan, yang kadang enggak masuk akal. Bahkan bagi orang-orang yang enggak bisa mengendalikannya, perasaan itu jadi enggak seimbang. Karena cinta mendominasi sebagian besar perasaan yang diisi dengan harapan selalu bahagia. Padahal, Allah itu menciptakan begitu banyak rasa, bukan hanya bahagia saja. Padahal sejatinya, sumber kebahagiaan itu bukan cinta. Tapi pada bagaimana kita menerima dan mensyukuri apa yang sudah Allah berikan kepada kita. Cinta hanyalah salah satunya. Bukan satu-satunya.”
“Berbeda dengan cinta, komitmen memberikan kesiapan tersendiri untuk menghadapi hal yang tidak disukai oleh masing-masing. Komitmen menyadarkan bahwa sebagaimana kehidupan pada umumnya, dalam rumah tangga akan banyak masalah dan ujian yang harus dihadapi bersama. Dan seberat apapun ujian itu, komitmen akan memberikan kepercayaan dan keyakinan tersendiri, kalau kita bisa mengatasinya bersama-sama. Kalau rasa cinta, biasanya enggak akan sedalam dan sejauh itu.
“Lagian, rumah tangga tidak otomatis memberikan kebahagiaan pada yang menjalaninya. Kalau otomatis begitu, pastinya enggak ada pasangan yang bercerai. Tapi rumahtangga memberikan kesempatan untuk menghadapi semuanya bersama-sama. Untuk sama-sama mencari kebahagian, untuk sama-sama mengatasi kesedihan. Mengenai bagaimana hasilnya, ditentukan dari seberapa besar komitmen masing-masing dalam menjalankannya. Bukan sekedar pada perasaan cinta yang dimilikinya.”
“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?”
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah menikah dengan bunda, Ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya bundamu itu.”
“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”
*** bersambung ke part-3
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
kriteria [part-3]
===============
“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?”
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah menikah dengan bunda, ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya bundamu itu.”
“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”
“Komitmen selalu bisa menimbulkan cinta. Tapi tidak semua cinta bisa menghasilkan komitmen. Bahkan untuk beberapa kondisi, cinta yang ditimbulkan dari komitman, memberikan efek yang jauh lebih kuat dan lebih dalam.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena komitmen, mau enggak mau mengharuskan ayah dan bunda membangun cinta itu bersama-sama. Berproses. Tidak otomatis. Ada perjuangan disana. Berbeda ketika kita mencintai seseorang sebelum ada komitmen. Katakanlah kamu mencintai perempuan yang cantik, sederhana, dan sholehah tadi. Pertanyaannya adalah, seberapa layak kamu mencintai anak gadis orang dengan kriteria seperti itu? Padahal tidak sedikitpun kamu berperan dalam prosesnya menjadi cantik, baik, ataupun sholehah. Kamu hanya melihat apa yang sudah jadi. Kamu hanya mencintai apa yang sudah ada. Seberapa besar kamu bisa mencintai seseorang yang belum menjadi milik kamu, padahal manusia hanya akan benar-benar mencintai sesuatu yang ia miliki?”
“Tapi komitmen, memiliki cara kerja yang berbeda. Komitmen membuat aku dan kamu menjadi kita. Membuat ayah bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi pada bunda, begitu juga sebaliknya. Ayah bertanggungjawab terhadap kekurangan bunda. Sehingga ayah juga akan membantu untuk memperbaiki bunda, jika kekurangan itu memang bisa diusahakan untuk diperbaiki. Proses itulah yang membuat cinta itu kian tertanam. Apalagi jika diantara kami melihat perubahan yang lebih baik pada diri masing-masing, dan ternyata ada kontribusi atau peran masing-masing dalam perubahan itu. Tapi, jika kekurangan itu sesuatu yang memang tidak bisa diperbaiki, seperti yang bersifat fisik, komitmen juga akan membuat kami saling menerima. Dan penerimaan yang tulus, tentu saja merupakan bentuk cinta tersendiri.”
“Komitmen untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah, yang membuat bunda tidak pernah berputus asa menghadapi ayah, bersabar membimbing ketertinggalan ayah dalam urusan agama, tanpa melupakan bakti dan kewajibannya sebagai seorang isteri. Komitmen itu juga yang membuat ayah tidak menyerah untuk terus belajar, untuk menjadi lebih bertanggungjawab lagi, untuk menjadi imam yang benar-benar layak untuk bunda, untuk menjadi ayah yang bisa diteladani anak-anaknya. Komitmen itu yang membuat ayah selalu merasa terlahir kembali menjadi manusia yang baru, manusia yang berusaha untuk jadi lebih baik dari hari ke hari.”
“Intinya, komitmen akan membuat siapapun melakukan apapun yang ia mau. Pertanyaan yang tertinggal adalah; untuk apa dan siapa ia melakukannya?”
“Dan Ayah melakukan semuanya buat Bunda?”
“Yup.”Jawab ayah sambil mengangguk
“Wow. Bunda beruntung banget ya, kalau gitu. Bangga deh jadi anaknya Ayah.”aku tersenyum menggoda ayah, sebelum akhirnya dibuat bingung dengan jawaban ayah selanjutnya.
“Sayangnya, ayah salah. Ternyata, bunda tidak mengharapkan itu dari ayah. Dan kamu tahu, gimana rasanya melakukan sesuatu untuk seseorang yang kamu cintai, tapi ternyata orang itu sama sekali tidak menginginkan kita melakukannya? Sangat tidak enak. Untung bunda menyampaikannya dengan baik, jadi tidak menyakiti hati ayah.”
“Loh, emang Bunda pengennya gimana? Kok enggak mau diperlakukan seperti itu? Bukankah setiap orang harusnya senang diperlakukan dengan sebaik itu?”
***
Anggaplah kalian sedang menonton film, lalu dengan sembarangan adegannya meloncat ke masa puluhan tahun silam. Flashback. Sebenernya sang sutradara bisa saja menggambarkan adegan itu dengan cerita masa lalu yang diceritakan oleh tokohnya. Misalkan dalam kisah ini, seperti sebelumnya, ayah menceritakan tentang masa lalunya. Tapi biar lebih dramatis, biar lebih dapet efek emosionalnya, untuk bagian ini aku akan menceritakan apa yang sudah disampaikan ayah melalui adegan langsungnya, antara ayah dan bunda, sekian puluh tahun silam, di ulangtahun pernikahnnya yang pertama. Btw, kalau adegan di bawah ini ditayangkan di tv-tv, di sudut kanan atas mungkin akan ada simbol 18+, artinya khusus untuk usia 18 tahun ke atas.
***
“Bunda, makasih ya atas semuanya. Atas kepercayaannya, atas kesabarannya, atas penerimaannya. Atas perlakuan yang begitu baik. Atas semua hal yang terjadi setahun ini. Makasih telah menyadarkan ayah, bahwa hanya laki-laki yang bertanggunjawablah yang benar-benar berhak untuk menjadi seorang suami.” Bunda yang mendengar hanya bisa tersenyum, menunduk malu-malu, lalu menatap ayah lagi.
“Ayah, boleh bunda minta sesuatu?”
“Boleh, Bunda mau minta apa? Kalau Ayah bisa, pasti ayah penuhi.”ayah begitu antusias, soalnya jarang-jarang si bunda minta sesuatu.
“Ayah, bunda sangat berterimakasih atas semua kebaikan yang ayah lakukan kepada bunda. Bunda juga bersyukuuur banget, Allah menitipkan bunda kepada laki-laki seperti Ayah.Tapi suatu hari nanti mungkin bunda enggak ada. Suatu hari akan ada yang lain selain bunda, ada anak-anak. Suatu hari nanti mungkin bunda bisa berubah. Dan bunda mau, ada atau enggak ada bunda, bersama atau enggak bersama bunda, ayah tetap melakukan kebaikan itu, tetap memiliki tanggungjawab itu. Bukan hanya kepada bunda, bukan juga karena bunda. Bunda juga akan mencoba berusaha untuk terus memperbaiki diri, menjadi isteri yang baik buat ayah, juga ibu yang baik buat anak-anak kita nantinya. Menjadi diri bunda yang lebih baik untuk sesama. Agar kebersamaan kita bisa berarti juga untuk orng lain. Dirasakan juga manfaatnya untuk orang lain. Bukan untuk diri kita sendiri saja. Bunda juga selalu minta kerelaan dan keridhoan ayah untuk setiap apa yang bunda lakukan. Ingetin kalo bundanya salah, bilang kalau ada tindakan bunda yang kurang berkenan di hati ayah, marahin aja kalau bundanya bandel.”
Keduanya menangis. Bukan karena sedih. Bukan juga karena bahagia. Mungkin karena cinta, salah satu buah komitmen yang sudah mereka dapatkan, dan akan terus mereka dapatkan.
*** bersambung ke part-4
===============
“Dan setelah menikah, Ayah enggak pernah jatuh cinta lagi?”
“Pernah, sering malah.”
“Lah, Ayah tega mengkhianati Bunda?”
“Tentu saja enggak harus mengkhianati bunda, karena setelah menikah dengan bunda, ayah selalu jatuh cinta pada perempuan yang sama. Ya bundamu itu.”
“Aih, kok bisa gitu sih, Yah?”
“Komitmen selalu bisa menimbulkan cinta. Tapi tidak semua cinta bisa menghasilkan komitmen. Bahkan untuk beberapa kondisi, cinta yang ditimbulkan dari komitman, memberikan efek yang jauh lebih kuat dan lebih dalam.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena komitmen, mau enggak mau mengharuskan ayah dan bunda membangun cinta itu bersama-sama. Berproses. Tidak otomatis. Ada perjuangan disana. Berbeda ketika kita mencintai seseorang sebelum ada komitmen. Katakanlah kamu mencintai perempuan yang cantik, sederhana, dan sholehah tadi. Pertanyaannya adalah, seberapa layak kamu mencintai anak gadis orang dengan kriteria seperti itu? Padahal tidak sedikitpun kamu berperan dalam prosesnya menjadi cantik, baik, ataupun sholehah. Kamu hanya melihat apa yang sudah jadi. Kamu hanya mencintai apa yang sudah ada. Seberapa besar kamu bisa mencintai seseorang yang belum menjadi milik kamu, padahal manusia hanya akan benar-benar mencintai sesuatu yang ia miliki?”
“Tapi komitmen, memiliki cara kerja yang berbeda. Komitmen membuat aku dan kamu menjadi kita. Membuat ayah bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi pada bunda, begitu juga sebaliknya. Ayah bertanggungjawab terhadap kekurangan bunda. Sehingga ayah juga akan membantu untuk memperbaiki bunda, jika kekurangan itu memang bisa diusahakan untuk diperbaiki. Proses itulah yang membuat cinta itu kian tertanam. Apalagi jika diantara kami melihat perubahan yang lebih baik pada diri masing-masing, dan ternyata ada kontribusi atau peran masing-masing dalam perubahan itu. Tapi, jika kekurangan itu sesuatu yang memang tidak bisa diperbaiki, seperti yang bersifat fisik, komitmen juga akan membuat kami saling menerima. Dan penerimaan yang tulus, tentu saja merupakan bentuk cinta tersendiri.”
“Komitmen untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah, yang membuat bunda tidak pernah berputus asa menghadapi ayah, bersabar membimbing ketertinggalan ayah dalam urusan agama, tanpa melupakan bakti dan kewajibannya sebagai seorang isteri. Komitmen itu juga yang membuat ayah tidak menyerah untuk terus belajar, untuk menjadi lebih bertanggungjawab lagi, untuk menjadi imam yang benar-benar layak untuk bunda, untuk menjadi ayah yang bisa diteladani anak-anaknya. Komitmen itu yang membuat ayah selalu merasa terlahir kembali menjadi manusia yang baru, manusia yang berusaha untuk jadi lebih baik dari hari ke hari.”
“Intinya, komitmen akan membuat siapapun melakukan apapun yang ia mau. Pertanyaan yang tertinggal adalah; untuk apa dan siapa ia melakukannya?”
“Dan Ayah melakukan semuanya buat Bunda?”
“Yup.”Jawab ayah sambil mengangguk
“Wow. Bunda beruntung banget ya, kalau gitu. Bangga deh jadi anaknya Ayah.”aku tersenyum menggoda ayah, sebelum akhirnya dibuat bingung dengan jawaban ayah selanjutnya.
“Sayangnya, ayah salah. Ternyata, bunda tidak mengharapkan itu dari ayah. Dan kamu tahu, gimana rasanya melakukan sesuatu untuk seseorang yang kamu cintai, tapi ternyata orang itu sama sekali tidak menginginkan kita melakukannya? Sangat tidak enak. Untung bunda menyampaikannya dengan baik, jadi tidak menyakiti hati ayah.”
“Loh, emang Bunda pengennya gimana? Kok enggak mau diperlakukan seperti itu? Bukankah setiap orang harusnya senang diperlakukan dengan sebaik itu?”
***
Anggaplah kalian sedang menonton film, lalu dengan sembarangan adegannya meloncat ke masa puluhan tahun silam. Flashback. Sebenernya sang sutradara bisa saja menggambarkan adegan itu dengan cerita masa lalu yang diceritakan oleh tokohnya. Misalkan dalam kisah ini, seperti sebelumnya, ayah menceritakan tentang masa lalunya. Tapi biar lebih dramatis, biar lebih dapet efek emosionalnya, untuk bagian ini aku akan menceritakan apa yang sudah disampaikan ayah melalui adegan langsungnya, antara ayah dan bunda, sekian puluh tahun silam, di ulangtahun pernikahnnya yang pertama. Btw, kalau adegan di bawah ini ditayangkan di tv-tv, di sudut kanan atas mungkin akan ada simbol 18+, artinya khusus untuk usia 18 tahun ke atas.
***
“Bunda, makasih ya atas semuanya. Atas kepercayaannya, atas kesabarannya, atas penerimaannya. Atas perlakuan yang begitu baik. Atas semua hal yang terjadi setahun ini. Makasih telah menyadarkan ayah, bahwa hanya laki-laki yang bertanggunjawablah yang benar-benar berhak untuk menjadi seorang suami.” Bunda yang mendengar hanya bisa tersenyum, menunduk malu-malu, lalu menatap ayah lagi.
“Ayah, boleh bunda minta sesuatu?”
“Boleh, Bunda mau minta apa? Kalau Ayah bisa, pasti ayah penuhi.”ayah begitu antusias, soalnya jarang-jarang si bunda minta sesuatu.
“Ayah, bunda sangat berterimakasih atas semua kebaikan yang ayah lakukan kepada bunda. Bunda juga bersyukuuur banget, Allah menitipkan bunda kepada laki-laki seperti Ayah.Tapi suatu hari nanti mungkin bunda enggak ada. Suatu hari akan ada yang lain selain bunda, ada anak-anak. Suatu hari nanti mungkin bunda bisa berubah. Dan bunda mau, ada atau enggak ada bunda, bersama atau enggak bersama bunda, ayah tetap melakukan kebaikan itu, tetap memiliki tanggungjawab itu. Bukan hanya kepada bunda, bukan juga karena bunda. Bunda juga akan mencoba berusaha untuk terus memperbaiki diri, menjadi isteri yang baik buat ayah, juga ibu yang baik buat anak-anak kita nantinya. Menjadi diri bunda yang lebih baik untuk sesama. Agar kebersamaan kita bisa berarti juga untuk orng lain. Dirasakan juga manfaatnya untuk orang lain. Bukan untuk diri kita sendiri saja. Bunda juga selalu minta kerelaan dan keridhoan ayah untuk setiap apa yang bunda lakukan. Ingetin kalo bundanya salah, bilang kalau ada tindakan bunda yang kurang berkenan di hati ayah, marahin aja kalau bundanya bandel.”
Keduanya menangis. Bukan karena sedih. Bukan juga karena bahagia. Mungkin karena cinta, salah satu buah komitmen yang sudah mereka dapatkan, dan akan terus mereka dapatkan.
*** bersambung ke part-4
kriteria
[part-4]
=============
Kita lupakan adegan 18+ sebelumnya, kembali pada pembicaraan antar lelaki, pembicaraanku dengan ayah tentang perjalanan hidupnya bersama bunda. Perjalanan yang membuatku ada di dunia, perjalanan yang membuatku begitu bersyukur berada di tengah-tengah mereka, dan perjalanan yang kata ayah; walaupun beliau diberikan kesempatan untuk mengulang kembali perjalanan hidup itu, dan diberikan kesempatan untuk memilih siapapun yang beliau inginkan untuk membersamainya, ayah akan tetap memilih bunda. Bukan yang lainnya.
***
“Ayah, emang salah ya, kalau kita menginginkan pasangan yang ideal?”Ayah tersenyum mendengar pertanyaanku, bikin aku bingung sendiri.
“Kok, Ayah cuma senyum-senyum gitu. Ada yang salah ya dengan pertanyaannya?”
“Enggak kok, pertanyaanmu itu mengingatkan Ayah pada sesuatu.”
“Sesuatu apa emang?”
“Dulu, sebelum menikah dengan bundamu, ayah bergonta-ganti pacar untuk menemukan pasangan yang ideal buat ayah. Dan setelah menikah, hidup bertahun-tahun dengan bunda, ayah baru mengerti kalau ideal itu adalah proses. Kita enggak akan pernah tahu seseorang itu ideal atau enggak buat kita, sebelum kita menjalani hidup bersama dengan orang tersebut. Jadi bohong banget, kalau ada laki-laki yang bilang, kalau pacarnya adalah perempuan ideal yang bisa mendampingi hidupnya kelak. Begitu juga sebaliknya. Cocok mungkin iya, tapi ideal? Masih perlu bukti yang sangat banyak. Dan itu baru bisa diketahui setelah pasangan itu menikah, setelah bertahun-tahun hidup bersama.”
“Bener juga ya, Yah. Kalau Bunda, sudah menjadi pasangan yang ideal buat Ayah?”aku bertanya, menggoda ayah
“Isteri yang baik dan sholehah iya, tapi ideal? Sampai sekarang, setiap hari kami berusaha untuk menciptakan kondisi itu.Setiap hari ayah berusaha untuk bunda, kamu dan kakakmu. Begitu juga bunda. Kami sendiri enggak tahu sudah seberapa ideal atau bahkan mungkin jauh dari ideal. Buat ayah dan bunda, komitmen untuk saling terbuka, saling menerima kekurangan masing-masing, lalu bantu-membantu untuk memperbaikinya, ditambah komitmen untuk memprioritaskan keluarga; sudah cukup untuk menjembatani perbedaan antara kami, untuk menyikapi kekurangan dan kelemahan kami. Terserah mau ideal ataupun enggak.”
“Lagipula, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Termasuk ayah dan bunda. Buat ayah, pasangan yang ideal itu bukan pasangan yang sama-sama memiliki banyak kelebihan. Bukan juga pasangan yang mendekati sempurna. Tapi pasangan yang kelebihannya bisa melengkapi kekurangan yang lain. Kalaupun keduanya sama-sama memiliki kelemahan yang sama, setidaknya bisa saling memahami dan memperbaiki. Dibutuhkan kesabaran yang tidak sedikit untuk itu, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk membiasakannya. Dibutuhkan masalah yang tidak sedikit untuk membuktikannya. Itulah kenapa ideal itu butuh proses. Tidak langsung terbentuk. Bahkan kondisi dua orang yang sama-sama baik, sama-sama nampak cocok dengan kelebihannya masing-masing, lalu keduanya menikah, tidak menjadi jaminan kalau mereka akan menjadi pasangan yang ideal.”
***
“Ehem.” tiba-tiba bunda sudah ada di depan kami. Kamipun berhenti sejenak.
“Lagi seru ya ngobrolnya. Maaf bunda ganggu sebentar. Ayah, katanya mau ada perlu ke rumah temen. Jadi? Ini udah jam berapa, nanti kemalaman loh.”
“Oh iya, ya Bun. Hampir aja lupa. Makasih ya, udah diingetin.” Bunda mengangguk sambil tersenyum.
“Putra, ayah harus berangkat nih. Nanti aja ya dilanjutin lagi ngobrolnya. Atau kalau mau dilanjutin sekarang sama bunda juga boleh. Bunda bisa kan?” Bunda tersenyum lalu mengangguk
“Oke deh, Ayah. Hati-hati ya.”
***
Lupakanlah tentang kenakalanku, tentang banyak hukuman yang aku terima dari perempuan di hadapanku ini, tentang betapa cerewetnya bunda kalau akunya lagi bandel. Enggak tahu kenapa seteleh mendenger kisah ayah dan bunda, bunda menjadi sosok yang begitu berbeda di hadapanku. Tentu saja aku tidak bisa langsung mengobrol dengan bunda, aku harus menunggu terlebih dahulu, sambil mau enggak mau menyaksikan adegan ini; ayah yang duduk di hadapanku berdiri, lalu berjalan menuju pintu depan, bunda langsung mensejajari ayah, mengantar ayah sampai pintu depan, membukakan pintu untuk ayah, tangan ayah dicium, kepala bunda juga sama. Terdengr dialog yang tak ang lagi; Bunda, Ayah berangkat dulu ya. Hati-hati ya. Iya. Assalamualaikum. Waalaikumsalam.
Bunda menutup pintu, lalu menemuiku.
***
“Bunda, boleh aku tanya sesuatu?” aku langsung bertanya, bahkan sebelum bunda duduk.
“Boleh, mau tanya apa emang?”
“Kenapa sih, dulu Bunda memutuskan untuk menikah dengan ayah?”
“Ih, suka-suka Bunda dong mau nikah sama siapa.” bunda bercanda menjawab pertanyaanku
“Aduh, aku serius ini, Bunda. Kenapa harus ayah, bukan laki-laki yang lain?”
“Iya deh, segitu penasarannya anak bunda. Begini ceritanya....”
*** bersambung ke part-5
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
=============
Kita lupakan adegan 18+ sebelumnya, kembali pada pembicaraan antar lelaki, pembicaraanku dengan ayah tentang perjalanan hidupnya bersama bunda. Perjalanan yang membuatku ada di dunia, perjalanan yang membuatku begitu bersyukur berada di tengah-tengah mereka, dan perjalanan yang kata ayah; walaupun beliau diberikan kesempatan untuk mengulang kembali perjalanan hidup itu, dan diberikan kesempatan untuk memilih siapapun yang beliau inginkan untuk membersamainya, ayah akan tetap memilih bunda. Bukan yang lainnya.
***
“Ayah, emang salah ya, kalau kita menginginkan pasangan yang ideal?”Ayah tersenyum mendengar pertanyaanku, bikin aku bingung sendiri.
“Kok, Ayah cuma senyum-senyum gitu. Ada yang salah ya dengan pertanyaannya?”
“Enggak kok, pertanyaanmu itu mengingatkan Ayah pada sesuatu.”
“Sesuatu apa emang?”
“Dulu, sebelum menikah dengan bundamu, ayah bergonta-ganti pacar untuk menemukan pasangan yang ideal buat ayah. Dan setelah menikah, hidup bertahun-tahun dengan bunda, ayah baru mengerti kalau ideal itu adalah proses. Kita enggak akan pernah tahu seseorang itu ideal atau enggak buat kita, sebelum kita menjalani hidup bersama dengan orang tersebut. Jadi bohong banget, kalau ada laki-laki yang bilang, kalau pacarnya adalah perempuan ideal yang bisa mendampingi hidupnya kelak. Begitu juga sebaliknya. Cocok mungkin iya, tapi ideal? Masih perlu bukti yang sangat banyak. Dan itu baru bisa diketahui setelah pasangan itu menikah, setelah bertahun-tahun hidup bersama.”
“Bener juga ya, Yah. Kalau Bunda, sudah menjadi pasangan yang ideal buat Ayah?”aku bertanya, menggoda ayah
“Isteri yang baik dan sholehah iya, tapi ideal? Sampai sekarang, setiap hari kami berusaha untuk menciptakan kondisi itu.Setiap hari ayah berusaha untuk bunda, kamu dan kakakmu. Begitu juga bunda. Kami sendiri enggak tahu sudah seberapa ideal atau bahkan mungkin jauh dari ideal. Buat ayah dan bunda, komitmen untuk saling terbuka, saling menerima kekurangan masing-masing, lalu bantu-membantu untuk memperbaikinya, ditambah komitmen untuk memprioritaskan keluarga; sudah cukup untuk menjembatani perbedaan antara kami, untuk menyikapi kekurangan dan kelemahan kami. Terserah mau ideal ataupun enggak.”
“Lagipula, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Termasuk ayah dan bunda. Buat ayah, pasangan yang ideal itu bukan pasangan yang sama-sama memiliki banyak kelebihan. Bukan juga pasangan yang mendekati sempurna. Tapi pasangan yang kelebihannya bisa melengkapi kekurangan yang lain. Kalaupun keduanya sama-sama memiliki kelemahan yang sama, setidaknya bisa saling memahami dan memperbaiki. Dibutuhkan kesabaran yang tidak sedikit untuk itu, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk membiasakannya. Dibutuhkan masalah yang tidak sedikit untuk membuktikannya. Itulah kenapa ideal itu butuh proses. Tidak langsung terbentuk. Bahkan kondisi dua orang yang sama-sama baik, sama-sama nampak cocok dengan kelebihannya masing-masing, lalu keduanya menikah, tidak menjadi jaminan kalau mereka akan menjadi pasangan yang ideal.”
***
“Ehem.” tiba-tiba bunda sudah ada di depan kami. Kamipun berhenti sejenak.
“Lagi seru ya ngobrolnya. Maaf bunda ganggu sebentar. Ayah, katanya mau ada perlu ke rumah temen. Jadi? Ini udah jam berapa, nanti kemalaman loh.”
“Oh iya, ya Bun. Hampir aja lupa. Makasih ya, udah diingetin.” Bunda mengangguk sambil tersenyum.
“Putra, ayah harus berangkat nih. Nanti aja ya dilanjutin lagi ngobrolnya. Atau kalau mau dilanjutin sekarang sama bunda juga boleh. Bunda bisa kan?” Bunda tersenyum lalu mengangguk
“Oke deh, Ayah. Hati-hati ya.”
***
Lupakanlah tentang kenakalanku, tentang banyak hukuman yang aku terima dari perempuan di hadapanku ini, tentang betapa cerewetnya bunda kalau akunya lagi bandel. Enggak tahu kenapa seteleh mendenger kisah ayah dan bunda, bunda menjadi sosok yang begitu berbeda di hadapanku. Tentu saja aku tidak bisa langsung mengobrol dengan bunda, aku harus menunggu terlebih dahulu, sambil mau enggak mau menyaksikan adegan ini; ayah yang duduk di hadapanku berdiri, lalu berjalan menuju pintu depan, bunda langsung mensejajari ayah, mengantar ayah sampai pintu depan, membukakan pintu untuk ayah, tangan ayah dicium, kepala bunda juga sama. Terdengr dialog yang tak ang lagi; Bunda, Ayah berangkat dulu ya. Hati-hati ya. Iya. Assalamualaikum. Waalaikumsalam.
Bunda menutup pintu, lalu menemuiku.
***
“Bunda, boleh aku tanya sesuatu?” aku langsung bertanya, bahkan sebelum bunda duduk.
“Boleh, mau tanya apa emang?”
“Kenapa sih, dulu Bunda memutuskan untuk menikah dengan ayah?”
“Ih, suka-suka Bunda dong mau nikah sama siapa.” bunda bercanda menjawab pertanyaanku
“Aduh, aku serius ini, Bunda. Kenapa harus ayah, bukan laki-laki yang lain?”
“Iya deh, segitu penasarannya anak bunda. Begini ceritanya....”
*** bersambung ke part-5
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
kriteria
[part-5]
=============
“Ceritanya, bunda pacaran sama ayah, terus ngajak nikah deh.”
“Ih, Bunda nyebelin deh. Kalau itu aku juga udah tahu. Yang belum aku tahu, kenapa bunda mau pacaran sama ayah dan ngajak nikah?”
“Kan, Bunda belum selesai ngomong, dengerin dulu dong, bundanya. Enggak sabaran gitu.” nada bicara bunda tegas, tapi lembut, kesel ceritanya dipotong. Enggak tahu kenapa aku suka kalau liat ekspresi dan nada bicara bunda yang kayak gitu. Ayah juga kadang suka digituin sama bunda. Kata ayah, itu gaya bunda kalau lagi kesel atau marah. Marah sih, tapi lebih banyak sayangnya. Kebalikan banget dari ekspresi kalau bunda lagi cerewet karena kenakalanku, sayang sih tapi lagi banyak keselnya. Pokoknya lucu deh.
“Iya deh, maaf.” aku cengengesan, bunda udah tersenyum lagi melanjutkan ceritanya.
“Perempuan itu paling suka diberikan perhatian. Karena dari perhatian itu kita merasa dimengerti, merasa dipahami, merasa dilindungi dan merasa ada orang yang bertanggungjawab terhadap kita. Selama perempuannya normal, enggak macem-macem, enggak punya prinsip-prinsip tertentu yang anti laki-laki atau menjaga diri dari laki-laki, enggak aneh-aneh, enggak komersil dan sejenisnya, perempuan sangat mudah untuk merasa kagum. Walaupun dia punya lelaki idaman misalkan, tapi kalau laki-laki itu enggak terjangkau, cuek, hanya tinggal menunggu waktu saja, perhatian akan segera mengganti nama laki-laki idaman tadi dengan nama yang lain. Nama yang paling banyak memberikan perhatian. Kebetulan, bunda termasuk dalam golongan perempuan normal, dan waktu itu ayah memberikan perhatian itu kepada bunda. Jadi waktu ayah nembak bunda dan minta jadi pacarnya, bunda langsung bilang iya deh.” Bunda bercerita sambil senyum-senyum, mengenang masa lalunya bersama ayah.
“Terus, terus?”
“Kebetulan, di hari yang sama bunda jadian sama ayah, bunda mulai ikut pengajian rutin gitu. Itu juga baru ikut-ikutan doang. Enggak enak aja diajakin temen. Eh, keterusan. Sampe berbulan-bulan kemudian, bunda banyak mendapatkan pemahaman baru tentang kehidupan, salah satunya tentang pacaran, hidup berumah tangga dan seterusnya. Intinya, bunda banyak merenung dan memutukan untuk tidak pacaran. Memutuskan juga buat putus sama ayah, karena ingin mendapatkan suami yang lebih baik daripada ayah pada saat itu.”
“Lah, kok akhirnya bisa nikah?”
“Mungkin sudah jalannya seperti itu kali ya, sudah skenarionya Allah. Awalnya kan bunda ingin menyampaikan dengan cara yang baik ke ayah, biar enggak nyakitin hatinya ayah. Bunda ngerti banget kondisi ayah waktu itu, ayah orangnya enggak mau terikat, masih lama rencana untuk menikah dan berumah tangga. Makanya bunda tawarin deh, mau nikahin bunda atau putusin bunda. Tawaran yang sebenarnya, bunda tahu banget jawaban ayah akan seperti apa. Ayah pasti akan mutusin bunda, apalagi usia pacaran bunda sama Ayah jauh lebih singkat daripada ayah dengan pacar-pacar terdahulunya. Setidaknya, kalau ayah memilih putus kan, berarti ayah yang mutusin bunda. Jadi bunda enggak merasa terbebani. Ceritanya semacam jebakan gitu buat ayah.”
“Waduh, dan akhirnya bunda sendiri yang terjebak?”
“Iya. Jadinya senjata makan tuan. Waktu itu ayah minta waktu seminggu ke bunda buat berpikir sebelum mengambil keputusan. Kalau bunda sih tenang-tenang aja. Bahkan sudah menganggap masalah bunda dan ayah selesai. Eh, tiba-tiba ayah nanya ini itu ke bunda tentang kenapa bunda memberikan pilihan itu ke ayah, enggak mungkin kan bunda jawab yang sebenernya. Akhirnya, bunda jelasin, lebih tepatnya menakut-nakuti ayah tentang komitmen, tanggungjawab keluarga, dan hal lain yang berat-berat. Eh, si ayah bukannya mundur dan mutusin Bunda, malah mengambil pilihan buat nikahin bunda. Bunda jadi kaget dan bingung sendiri kan?”
“Haha.. seru ya, Terus Bunda enggak punya pilihan lain pastinya selain menikah dengan Ayah. Masa yang ngajak yang menolak?”
“Waktu itu Bunda yang gantian minta waktu ke Ayah buat meyakinkan orangtua dulu, baru nanti bunda kasihtau keputusannya gimana. Padahal, bunda perlu waktu untuk meyakinkan diri bunda sendiri. Untuk urusan menikah, orangtua menyerahkan semuanya ke Bunda.”
“Terus, pertimbangan apa yang akhirnya membuat Bunda mengambil keputusan untuk menikah dengan Ayah?”
“Awalnya, bunda nyesel banget. Kenapa memberikan pilihan itu kepada ayah. Kenapa bunda enggak berfikir lebih dalam lagi konsekuensi dari kemungkinan yang lain, kalau ayah ternyata memilih untuk menikahi bunda. Padahal, bunda menginginkan suami yang baik, suami yang bisa menjadi imam dan teladan buat bunda. Dan kondisi ayah waktu itu, belum seperti sekarang, belum masuk dalam kriteria suami yang bunda inginkan. Tapi ada senior bunda yang nasihatin bunda kayak gini:
“Menikah itu bukan hanya perkara menemukan siapa pasangan yang paling baik buat kita, tapi jauh lebih penting daripada itu, menjadikan diri kita sebaik mungkin. Sebaik apapun pasangan kita, kalau kitanya enggak mau memperbaiki diri, enggak menjamin rumah tangga kita baik dan bahagia. Bahkan siapa tahu malah keburukan kita yang mendominasi dan mempengaruhi pasangan kita. Sebaliknya, kalau kitanya selalu berusaha memperbaiki diri, walaupun pasangan kita itu mempunyai banyak kekurangan, selama kita mau sama-sama berproses untuk saling memperbaiki, nanti akan ketemu pada titik kebaikan dan kebahagiaan tersendiri. Walaupun kita harus lebih sedikit bersabar untuk sampai di titik itu. Tapi bukankah sabar adalah kebaikan, dan kebaikan akan selalu menghasilkan kebaikan yang lainnya. Itulah salah satu proses dan penjelasan, bahwa laki-laki yang baik, diciptakan untuk perempuan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Laki-laki dan perempuan yang baik itu tidak semuanya bertemu pada kondisi yang sama baiknya. Ada juga diantara mereka yang dipertemukan dan berjodoh, pada kondisi yang salah satunya belum baik. Kemudian proses yang baik, yang menjadikan mereka saling baik-membaikkan.”
“Akhirnya, setelah banyak berfikir dan merenung, bunda memutuskan untuk menikah dengan ayah. Mungkin inilah jalannya. Dan sampai sekarang, salah satu hal yang paling bunda syukuri adalah dititipkan Allah kepada laki-laki seperti ayah. Dan ternyata benar, dalam prosesnya yang jatuh-bangun dan bertahun-tahun itu, ayah berkembang lebih baik daripada bunda. Ayah bisa menjadi imam yang sangat baik buat bunda.”
“Kok bisa ya Bun, gimana caranya?”
“Komitmen. Itu yang dari awal ayah dan bunda bangun. Bahkan sampai sekarang, kami selalu memperbaharui komitmen itu. Waktu bunda bilang ke ayah tentang keputusan bunda dan keluarga, bunda menekankan point komitmen itu ke ayah. Membahas apa saja dan bagaimana nantinya, terutama untuk masalah perbedaan, kekuarangan dan perbaikan diantara kami. Komitmen itu yang sampai sekarang membuat kami bertahan, membuat kami enggak menyerah untuk membangun keluarga, untuk berbagi ketika bahagia, untuk kuat-menguatkan ketika sedih, untuk membesarkan kamu dan kakak kamu.”
“Lagipula, yang harus dilakukan seorang isteri untuk suaminya, agar suaminya mencintai dan mau melakukan apapun untuknya; seorang isteri hanya harus mencintai dengan cinta yang sama, harus berbakti dengan bakti yang sama, harus menghormati dengan hormat yang sama, seperti ia ingin diperlakukan oleh suaminya.”
“Dan Bunda melakukan itu dengan baik kepada Ayah kan?”
“Semoga begitu.” jawab bunda sambi tersenyum
"Oh ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?"muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.
*** bersambung ke part-6
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
=============
“Ceritanya, bunda pacaran sama ayah, terus ngajak nikah deh.”
“Ih, Bunda nyebelin deh. Kalau itu aku juga udah tahu. Yang belum aku tahu, kenapa bunda mau pacaran sama ayah dan ngajak nikah?”
“Kan, Bunda belum selesai ngomong, dengerin dulu dong, bundanya. Enggak sabaran gitu.” nada bicara bunda tegas, tapi lembut, kesel ceritanya dipotong. Enggak tahu kenapa aku suka kalau liat ekspresi dan nada bicara bunda yang kayak gitu. Ayah juga kadang suka digituin sama bunda. Kata ayah, itu gaya bunda kalau lagi kesel atau marah. Marah sih, tapi lebih banyak sayangnya. Kebalikan banget dari ekspresi kalau bunda lagi cerewet karena kenakalanku, sayang sih tapi lagi banyak keselnya. Pokoknya lucu deh.
“Iya deh, maaf.” aku cengengesan, bunda udah tersenyum lagi melanjutkan ceritanya.
“Perempuan itu paling suka diberikan perhatian. Karena dari perhatian itu kita merasa dimengerti, merasa dipahami, merasa dilindungi dan merasa ada orang yang bertanggungjawab terhadap kita. Selama perempuannya normal, enggak macem-macem, enggak punya prinsip-prinsip tertentu yang anti laki-laki atau menjaga diri dari laki-laki, enggak aneh-aneh, enggak komersil dan sejenisnya, perempuan sangat mudah untuk merasa kagum. Walaupun dia punya lelaki idaman misalkan, tapi kalau laki-laki itu enggak terjangkau, cuek, hanya tinggal menunggu waktu saja, perhatian akan segera mengganti nama laki-laki idaman tadi dengan nama yang lain. Nama yang paling banyak memberikan perhatian. Kebetulan, bunda termasuk dalam golongan perempuan normal, dan waktu itu ayah memberikan perhatian itu kepada bunda. Jadi waktu ayah nembak bunda dan minta jadi pacarnya, bunda langsung bilang iya deh.” Bunda bercerita sambil senyum-senyum, mengenang masa lalunya bersama ayah.
“Terus, terus?”
“Kebetulan, di hari yang sama bunda jadian sama ayah, bunda mulai ikut pengajian rutin gitu. Itu juga baru ikut-ikutan doang. Enggak enak aja diajakin temen. Eh, keterusan. Sampe berbulan-bulan kemudian, bunda banyak mendapatkan pemahaman baru tentang kehidupan, salah satunya tentang pacaran, hidup berumah tangga dan seterusnya. Intinya, bunda banyak merenung dan memutukan untuk tidak pacaran. Memutuskan juga buat putus sama ayah, karena ingin mendapatkan suami yang lebih baik daripada ayah pada saat itu.”
“Lah, kok akhirnya bisa nikah?”
“Mungkin sudah jalannya seperti itu kali ya, sudah skenarionya Allah. Awalnya kan bunda ingin menyampaikan dengan cara yang baik ke ayah, biar enggak nyakitin hatinya ayah. Bunda ngerti banget kondisi ayah waktu itu, ayah orangnya enggak mau terikat, masih lama rencana untuk menikah dan berumah tangga. Makanya bunda tawarin deh, mau nikahin bunda atau putusin bunda. Tawaran yang sebenarnya, bunda tahu banget jawaban ayah akan seperti apa. Ayah pasti akan mutusin bunda, apalagi usia pacaran bunda sama Ayah jauh lebih singkat daripada ayah dengan pacar-pacar terdahulunya. Setidaknya, kalau ayah memilih putus kan, berarti ayah yang mutusin bunda. Jadi bunda enggak merasa terbebani. Ceritanya semacam jebakan gitu buat ayah.”
“Waduh, dan akhirnya bunda sendiri yang terjebak?”
“Iya. Jadinya senjata makan tuan. Waktu itu ayah minta waktu seminggu ke bunda buat berpikir sebelum mengambil keputusan. Kalau bunda sih tenang-tenang aja. Bahkan sudah menganggap masalah bunda dan ayah selesai. Eh, tiba-tiba ayah nanya ini itu ke bunda tentang kenapa bunda memberikan pilihan itu ke ayah, enggak mungkin kan bunda jawab yang sebenernya. Akhirnya, bunda jelasin, lebih tepatnya menakut-nakuti ayah tentang komitmen, tanggungjawab keluarga, dan hal lain yang berat-berat. Eh, si ayah bukannya mundur dan mutusin Bunda, malah mengambil pilihan buat nikahin bunda. Bunda jadi kaget dan bingung sendiri kan?”
“Haha.. seru ya, Terus Bunda enggak punya pilihan lain pastinya selain menikah dengan Ayah. Masa yang ngajak yang menolak?”
“Waktu itu Bunda yang gantian minta waktu ke Ayah buat meyakinkan orangtua dulu, baru nanti bunda kasihtau keputusannya gimana. Padahal, bunda perlu waktu untuk meyakinkan diri bunda sendiri. Untuk urusan menikah, orangtua menyerahkan semuanya ke Bunda.”
“Terus, pertimbangan apa yang akhirnya membuat Bunda mengambil keputusan untuk menikah dengan Ayah?”
“Awalnya, bunda nyesel banget. Kenapa memberikan pilihan itu kepada ayah. Kenapa bunda enggak berfikir lebih dalam lagi konsekuensi dari kemungkinan yang lain, kalau ayah ternyata memilih untuk menikahi bunda. Padahal, bunda menginginkan suami yang baik, suami yang bisa menjadi imam dan teladan buat bunda. Dan kondisi ayah waktu itu, belum seperti sekarang, belum masuk dalam kriteria suami yang bunda inginkan. Tapi ada senior bunda yang nasihatin bunda kayak gini:
“Menikah itu bukan hanya perkara menemukan siapa pasangan yang paling baik buat kita, tapi jauh lebih penting daripada itu, menjadikan diri kita sebaik mungkin. Sebaik apapun pasangan kita, kalau kitanya enggak mau memperbaiki diri, enggak menjamin rumah tangga kita baik dan bahagia. Bahkan siapa tahu malah keburukan kita yang mendominasi dan mempengaruhi pasangan kita. Sebaliknya, kalau kitanya selalu berusaha memperbaiki diri, walaupun pasangan kita itu mempunyai banyak kekurangan, selama kita mau sama-sama berproses untuk saling memperbaiki, nanti akan ketemu pada titik kebaikan dan kebahagiaan tersendiri. Walaupun kita harus lebih sedikit bersabar untuk sampai di titik itu. Tapi bukankah sabar adalah kebaikan, dan kebaikan akan selalu menghasilkan kebaikan yang lainnya. Itulah salah satu proses dan penjelasan, bahwa laki-laki yang baik, diciptakan untuk perempuan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Laki-laki dan perempuan yang baik itu tidak semuanya bertemu pada kondisi yang sama baiknya. Ada juga diantara mereka yang dipertemukan dan berjodoh, pada kondisi yang salah satunya belum baik. Kemudian proses yang baik, yang menjadikan mereka saling baik-membaikkan.”
“Akhirnya, setelah banyak berfikir dan merenung, bunda memutuskan untuk menikah dengan ayah. Mungkin inilah jalannya. Dan sampai sekarang, salah satu hal yang paling bunda syukuri adalah dititipkan Allah kepada laki-laki seperti ayah. Dan ternyata benar, dalam prosesnya yang jatuh-bangun dan bertahun-tahun itu, ayah berkembang lebih baik daripada bunda. Ayah bisa menjadi imam yang sangat baik buat bunda.”
“Kok bisa ya Bun, gimana caranya?”
“Komitmen. Itu yang dari awal ayah dan bunda bangun. Bahkan sampai sekarang, kami selalu memperbaharui komitmen itu. Waktu bunda bilang ke ayah tentang keputusan bunda dan keluarga, bunda menekankan point komitmen itu ke ayah. Membahas apa saja dan bagaimana nantinya, terutama untuk masalah perbedaan, kekuarangan dan perbaikan diantara kami. Komitmen itu yang sampai sekarang membuat kami bertahan, membuat kami enggak menyerah untuk membangun keluarga, untuk berbagi ketika bahagia, untuk kuat-menguatkan ketika sedih, untuk membesarkan kamu dan kakak kamu.”
“Lagipula, yang harus dilakukan seorang isteri untuk suaminya, agar suaminya mencintai dan mau melakukan apapun untuknya; seorang isteri hanya harus mencintai dengan cinta yang sama, harus berbakti dengan bakti yang sama, harus menghormati dengan hormat yang sama, seperti ia ingin diperlakukan oleh suaminya.”
“Dan Bunda melakukan itu dengan baik kepada Ayah kan?”
“Semoga begitu.” jawab bunda sambi tersenyum
"Oh ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?"muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.
*** bersambung ke part-6
___ Serial Ayah-Bunda, Nazrul Anwar
kriteria
[part-6]
"Oh ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?" muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.
“Kok nanya itu. Kenapa emang?”
“Gpp kok Bun, cuma pengen tahu aja. Kalau enggak mau jawab juga gpp kok.” Aku baru sadar kalo pertanyaanku itu agak sensitif buat bunda. Ah, buat sebagian besar kaum perempuan lebih tepatnya.
“Hmm, gimana ya?” bunda menarik napas, agak berat sepertinya.
“Bunda setuju-setuju aja dengan poligami. Walaupun berat menerimanya. Itu kan sesuatu yang sudah diatur, dan aturan secara agama membolehkannya, bukan? Jadi klopun bunda enggak suka dibegitukan, walaupun semua perempuan di dunia menuntut agar poligami itu tidak diperbolehkan, tidak akan bisa mengubah hukum poligami. Hukum dasarnya tetap boleh. Tapi tidak semua yang boleh dilakukan itu harus dilakukan bukan?”
“Bunda menghargai laki-laki yang melakukan poligami, yang bisa berbuat adil dan membahagiakan lebih dari satu perempuan, yang punya tujuan mulia untuk menolong atau menyelamatkan perempuan dengan segala kondisi dan keterbatasan perempuan itu. Bunda menghargainya, setidaknya laki-laki tersebut tidak melakukan kemaksiatan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Bukankah banyak laki-laki yang terjerumus dalam perselingkuhan? Setidaknya di mata bunda, laki-laki yang berpoligami jauh lebih baik daripada laki-laki yang selingkuh.”
“Bunda juga salut banget sama perempuan yang rela untuk dipoligami, yang mau berbagi suami yang dicintainya dengan perempuan lain, yang tentu saja memiliki kesabaran yang berlipat-lipat. Itu bukan perkara mudah loh. Hanya perempuan mulia yang bisa ikhlas berbagi seperti itu. Apalagi, jika bisa berbahagia dengan kondisi itu. Tapi jujur, sampai saat ini, bunda masih belum bisa seikhlas itu. Belum bisa aja kalau harus berbagi suami dengan perempuan lain. Ih, ngebayanginnya aja udah sakit hati duluan. Apalagi mengalaminya.” Bunda menjelsakan diakhiri dengan menggeleng-gelengkan kepala. Lucu deh ngeliatnya, aku cuma senyum.
“Jadi bingung, intinya, bunda setuju atau enggak nih dengan poligami? Tadi katanya setuju, tapi enggak mau dipoligami”
“Jawaban bunda ngebingungin ya? Gini deh, sepemahaman bunda, poligami itu dibolehkan agama dengan tujuan yang baik. Tapi jika dengan melakukan poligami itu lebih banyak ketidakbaikan yang ditimbulkan, banyak yang tersakiti, berarti tujuannya tidak tercapai. Poligami itu boleh, tapi menyakiti isteri sangat tidak boleh. Jadi kalau menurut bunda, selama poligami itu membawa lebih banyak kebaikan, isterinya juga ikhlas dan ridho untuk dipoligami, suaminya juga sudah bisa berlaku adil, alasannya juga tepat dan enggak dibuat-buat, silahkan saja. Tapi kalau belum bisa seperti itu, lebih baik tidak melakukannya.”
“Kalau ayah, gimana bunda?” aku bertanya, lebih hati-hati kali ini
“Gimana apanya?”
“Ya, tentang poligami. Bunda pernah ngomong tentang poligami gitu enggak sama ayah?”
“Pernah. Dulu banget waktu di awal-awal pernikahan.”
“Terus gimana?”
“Ayah dan bunda enggak panjang lebar ngebahas itu. Waktu itu kami sedang ngomingin komitmen sebenernya. Komitmen untuk tidak saling menyakiti, apalagi disengaja. Kalaupun sesekali ada hal yang enggak disengaja menyakiti satu sama lain, kami juga berkomitmen untuk lebih mengedepankan kepentingan keluarga, kebaikan kami bersama, dengan saling memaafkan dan mengurangi ego masing-masing. Dan ayah tahu banget, salah satu hal yang membuat bunda sakit hati adalah poligami, sebagaimana bunda juga tahu dan percaya; kalau ayah tidak akan pernah sengaja menyakiti bunda. Sampai hari ini pun belum. Kalaupun sesekali bunda tersakiti, itu bukan karena kesengajaan ayah. Kaminya saja yang masih belum sama-sama cukup dewasa untuk saling menyikapinya perlakuan masing-masing. Dan dengan saling memahami dan mempercayai seperti itu, tidak ada lagi pembahasan poligamai antara ayah dan bunda. Semuanya sudah cukup jelas. Setidaknya sampai saat ini.”
“Teruss, kenapa ya Bun, banyak keluarga yang jadinya berantakan karena poligami?”
“Banyak juga kok, yang hidup berpoligami dan bahagia. Ada malah yang jauh lebih bahagia daripada mereka yang tidak melakukan poligami. Yang salah itu bukan poligamnya, tapi orang yang melakukannya. Kalau yang melakukannya menjalankan prosesnya dengan baik, sesuai dengan aturan dan sebagaimana mestinya, harusnya bisa bahagia dan juga menghasilkan kebaikan. Kalo bunda sih percaya, sesuatu yang dibolehkan oleh agama dan dilakukan dengan proses yang baik, pasti mengandung kebaikan juga. Tapi jika dilakukan dengan proses yang tidak baik, hasilnya juga tidak akan baik.”
“Boleh jadi kita tidak menyukai poligami, tidak setuju dengan poligami, tapi bukan berarti dengan begitu kita bisa langsung menyalahkan orang yang berpoligami, langsung tidak suka dengan mereka yang menjalani poligami. Itu pilihan lah ya, setiap orang punya alasan dan kondisi masing-masing. Sebagaimana bunda punya alasan untuk tidak ingin dipoligami, mereka juga punya alasan untuk melakukan poligami. Dan kita enggak boleh menghakimi mereka dengan alasan-alasan itu, apalagi kalau kita enggak tahu alasan di belakangnya seperti apa. Siapa tahu niatnya memang benar-benar mulia, prosesnya juga baik. Siapa tahu keluarga mereka yang berpoligami jauh lebih berbahagia daripada keluarganya kita. Makanya, karena kita enggak selalu tahu, jangan sok tahu, cukup berprasangka baik dan saling menghargai pilihan masing-masing saja. Jangan pernah membenci sesuatu yang belum benar-benar kita kita pahami, ok?”
“Iya, Bunda. Baiklah.”
***
“Eh, ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester.”
“Oh ya Bun, besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya, ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda, dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, Putra mau minta izin ke bunda buat nikah sebelum lulus gitu, yah?”
“Eh,, ... “
***
Mana yang lebih menyakitkan, ditanya kapan lulus atau ditanya kapan nikah?
*** bersambung ke part-7
"Oh ya, Bunda. Gimana pendapat bunda tentang poligami?" muka bunda langsung berubah, agak-agak gimana gitu.
“Kok nanya itu. Kenapa emang?”
“Gpp kok Bun, cuma pengen tahu aja. Kalau enggak mau jawab juga gpp kok.” Aku baru sadar kalo pertanyaanku itu agak sensitif buat bunda. Ah, buat sebagian besar kaum perempuan lebih tepatnya.
“Hmm, gimana ya?” bunda menarik napas, agak berat sepertinya.
“Bunda setuju-setuju aja dengan poligami. Walaupun berat menerimanya. Itu kan sesuatu yang sudah diatur, dan aturan secara agama membolehkannya, bukan? Jadi klopun bunda enggak suka dibegitukan, walaupun semua perempuan di dunia menuntut agar poligami itu tidak diperbolehkan, tidak akan bisa mengubah hukum poligami. Hukum dasarnya tetap boleh. Tapi tidak semua yang boleh dilakukan itu harus dilakukan bukan?”
“Bunda menghargai laki-laki yang melakukan poligami, yang bisa berbuat adil dan membahagiakan lebih dari satu perempuan, yang punya tujuan mulia untuk menolong atau menyelamatkan perempuan dengan segala kondisi dan keterbatasan perempuan itu. Bunda menghargainya, setidaknya laki-laki tersebut tidak melakukan kemaksiatan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Bukankah banyak laki-laki yang terjerumus dalam perselingkuhan? Setidaknya di mata bunda, laki-laki yang berpoligami jauh lebih baik daripada laki-laki yang selingkuh.”
“Bunda juga salut banget sama perempuan yang rela untuk dipoligami, yang mau berbagi suami yang dicintainya dengan perempuan lain, yang tentu saja memiliki kesabaran yang berlipat-lipat. Itu bukan perkara mudah loh. Hanya perempuan mulia yang bisa ikhlas berbagi seperti itu. Apalagi, jika bisa berbahagia dengan kondisi itu. Tapi jujur, sampai saat ini, bunda masih belum bisa seikhlas itu. Belum bisa aja kalau harus berbagi suami dengan perempuan lain. Ih, ngebayanginnya aja udah sakit hati duluan. Apalagi mengalaminya.” Bunda menjelsakan diakhiri dengan menggeleng-gelengkan kepala. Lucu deh ngeliatnya, aku cuma senyum.
“Jadi bingung, intinya, bunda setuju atau enggak nih dengan poligami? Tadi katanya setuju, tapi enggak mau dipoligami”
“Jawaban bunda ngebingungin ya? Gini deh, sepemahaman bunda, poligami itu dibolehkan agama dengan tujuan yang baik. Tapi jika dengan melakukan poligami itu lebih banyak ketidakbaikan yang ditimbulkan, banyak yang tersakiti, berarti tujuannya tidak tercapai. Poligami itu boleh, tapi menyakiti isteri sangat tidak boleh. Jadi kalau menurut bunda, selama poligami itu membawa lebih banyak kebaikan, isterinya juga ikhlas dan ridho untuk dipoligami, suaminya juga sudah bisa berlaku adil, alasannya juga tepat dan enggak dibuat-buat, silahkan saja. Tapi kalau belum bisa seperti itu, lebih baik tidak melakukannya.”
“Kalau ayah, gimana bunda?” aku bertanya, lebih hati-hati kali ini
“Gimana apanya?”
“Ya, tentang poligami. Bunda pernah ngomong tentang poligami gitu enggak sama ayah?”
“Pernah. Dulu banget waktu di awal-awal pernikahan.”
“Terus gimana?”
“Ayah dan bunda enggak panjang lebar ngebahas itu. Waktu itu kami sedang ngomingin komitmen sebenernya. Komitmen untuk tidak saling menyakiti, apalagi disengaja. Kalaupun sesekali ada hal yang enggak disengaja menyakiti satu sama lain, kami juga berkomitmen untuk lebih mengedepankan kepentingan keluarga, kebaikan kami bersama, dengan saling memaafkan dan mengurangi ego masing-masing. Dan ayah tahu banget, salah satu hal yang membuat bunda sakit hati adalah poligami, sebagaimana bunda juga tahu dan percaya; kalau ayah tidak akan pernah sengaja menyakiti bunda. Sampai hari ini pun belum. Kalaupun sesekali bunda tersakiti, itu bukan karena kesengajaan ayah. Kaminya saja yang masih belum sama-sama cukup dewasa untuk saling menyikapinya perlakuan masing-masing. Dan dengan saling memahami dan mempercayai seperti itu, tidak ada lagi pembahasan poligamai antara ayah dan bunda. Semuanya sudah cukup jelas. Setidaknya sampai saat ini.”
“Teruss, kenapa ya Bun, banyak keluarga yang jadinya berantakan karena poligami?”
“Banyak juga kok, yang hidup berpoligami dan bahagia. Ada malah yang jauh lebih bahagia daripada mereka yang tidak melakukan poligami. Yang salah itu bukan poligamnya, tapi orang yang melakukannya. Kalau yang melakukannya menjalankan prosesnya dengan baik, sesuai dengan aturan dan sebagaimana mestinya, harusnya bisa bahagia dan juga menghasilkan kebaikan. Kalo bunda sih percaya, sesuatu yang dibolehkan oleh agama dan dilakukan dengan proses yang baik, pasti mengandung kebaikan juga. Tapi jika dilakukan dengan proses yang tidak baik, hasilnya juga tidak akan baik.”
“Boleh jadi kita tidak menyukai poligami, tidak setuju dengan poligami, tapi bukan berarti dengan begitu kita bisa langsung menyalahkan orang yang berpoligami, langsung tidak suka dengan mereka yang menjalani poligami. Itu pilihan lah ya, setiap orang punya alasan dan kondisi masing-masing. Sebagaimana bunda punya alasan untuk tidak ingin dipoligami, mereka juga punya alasan untuk melakukan poligami. Dan kita enggak boleh menghakimi mereka dengan alasan-alasan itu, apalagi kalau kita enggak tahu alasan di belakangnya seperti apa. Siapa tahu niatnya memang benar-benar mulia, prosesnya juga baik. Siapa tahu keluarga mereka yang berpoligami jauh lebih berbahagia daripada keluarganya kita. Makanya, karena kita enggak selalu tahu, jangan sok tahu, cukup berprasangka baik dan saling menghargai pilihan masing-masing saja. Jangan pernah membenci sesuatu yang belum benar-benar kita kita pahami, ok?”
“Iya, Bunda. Baiklah.”
***
“Eh, ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester.”
“Oh ya Bun, besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya, ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda, dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, Putra mau minta izin ke bunda buat nikah sebelum lulus gitu, yah?”
“Eh,, ... “
***
Mana yang lebih menyakitkan, ditanya kapan lulus atau ditanya kapan nikah?
*** bersambung ke part-7
kriteria
[part-7]
=============
“Eh, ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester.”
“Oh ya Bun, besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya, ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda, dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, Putra mau minta izin ke bunda buat nikah sebelum lulus gitu yah?”
“Eh,, enggak kok Bun. Malah Putra enggak pengen nikah sebelum lulus. Kebanyakan seniorku yang nikah belum lulus tuh, pada tersendat-sendat gitu lulusnya. Dan punya image yang kurang baik gitu Bun. Suka diomongin gimana gitu sama yang lainnya.”
“Eh, enggak boleh gitu. Jangan ketuker-tuker; yang harus kita urusin itu kelemahannya kita, kekurangannya kita. Bukan meributkan kekurangannya orang lain. Toh kalau diomongin dan diributin pun orang itu enggak akan berubah. Enggak ada manfaatnya buat kita, apalagi buat orang yang diomongin. Mending kalau mau membantu, bantu yang konkrit-konkrit aja. Dengan doa yang tulus untuk kebaikan yang bersangkutan misalkan, atau melakukan hal lain yang bisa meringankan bebannya. Kalau enggak bisa mendingan diem.”
“Lagipula, setiap orang punya rencana masing-masing, punya prioritas yang berbeda, memiliki kondisi yang enggak sama. Kita juga enggak selalu tahu kondisi mereka. Jadi, jangan menyamaratakan untuk menilai setiap orang dengan standarnya kita. Berprasangka baik dan berpikiran positif selalu menjadi landasan yang paling aman dan bijak untuk menilai orang lain, yang sebenernya kita enggak tahu-tahu banget kondisi sebenarnya kayak gimana.” Bunda agak tegas dan serius banget, biasanya gaya bunda yang kayak gini dipakai kalau bunda menjelaskan sesuatu yang enggak disukainya. Sedikit lebih tinggi derajatnya daripada ‘omelan’ yang biasanya digunakan untuk kesalahan atau hal-hal yang lebih sepele.
***
“Lagi pada ngomongin apaan sih, kayaknya dari tadi seru amat. Ada nikah-nikahnya gitu ya? Putri ikutan dong.” Kak Putri udah nimbrung aja. Bunda melanjutkan penjelasnnya, sudah agak melembut nadanya.
“Enggak ada orang yang enggak mau nikah koh, selama orang itu normal. Hanya masalah waktu saja, kapan kondisi yang tepat untuk melaksanakannya. Dan kondisi tepat itu, berbeda satu sama yang lainnya. Agama kita memang menganjurkan untuk menyegerakan menikah. Tapi agama kita juga mengajarkan untuk menghindari kemudhorotan atau keburukan yang terjadi akibat suatu hal yang kita lakukan.”
“Kondisi ini yang berbeda satu sama yang lainnya. Ada yang beruntung memiliki kondisi tepat yang cepat, secara pribadi sudah siap lahir-batin, kondisi keluarga dan faktor yang lainnya juga mendukung. Ada yang harus berjuang terlebih dahulu untuk meyakinkan keluarga, untuk menyamakan dan menggabungkan dua latar belakang yang berbeda, ada yang harus mematangkan kondisi dan persiapan masing-masing, yang harus ditempuh agar pernikahan itu lebih berkah dengan keridhoan dan keikhlasan masing-masing pihak keluarga. Itu yang enggak bisa kelihatan, yang karenanya kita enggak boleh sembarangan menuduh orang lain begini-begitu, atau membuat asumsi yang macam-macam sesuka hatinya kita. Ngerti?” aku cuma mengangguk sambil nunduk, merasa berdosa. Kak Putri cuma bengong melompong, masih mencoba mengikuti alur pembicaraan aku dan bunda.
“Nah, untuk ‘case’ dari senior Putra yang menikah besok, yang dua-duanya belum lulus itu, bisa jadi yang bersangkutan sudah mempersiapkan semuanya. Kondisinya juga sudah mendukung. Harusnya kita senang ada saudara kita yang mencoba menjalankan ajaran agama untuk menyegerakan menikah. Kalaupun memang benar, apa yang diomongin temen-temen di kampus kalau mereka belum bisa mandiri, bakalan ngerepotin orang tua dan sebaginya dan seterusnya. Harusnya kita juga tetap menghargai keputusan mereka. Setidaknya, mereka mengambil jalan yang benar untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.”
“Banyak loh, teman-teman mereka yang lain yang berpacaran dengan keterlaluan, yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang belum menikah. Setidaknya mereka sudah benar untuk menghindari itu, menjauhi kemudhorotan yang lebih besar walaupun untuk sementara harus merepotkan orang tua, atau kuliahnya harus tersendat beberapa waktu. Semoga dengan niat mereka yang mulia, Allah berkenan untuk memberikan banyak kemudahan dan pertolongan.”
“Iya juga ya, Bun. Putra kok enggak kepikiran sampe situ ya. Jadi merasa bersalah, sudah berprasangka yang enggak-enggak.”
“Makanya, jadi orang jangan sok tahu.” Mulai deh, Kak Putri ngajak ribut. Untung aku lagi enggak bernafsu buat meladeni. Jadi cuma mengiyakan.
“Iya, kakak bawel.” dan sekian detik kemudian, kami udah saling lempar-lemparan bantal kecil yang ada di sofa. Bunda cuma senyum-senyum aja liat kelakuan kami. Artinya, keributan kami masih dalam taraf wajar.
***
Kerusuhan kecil sudah berakhir. Bantal-bantal yang berserakan sudah kembali pada posisis semula. Hanya dengan isyarat mata galaknya bunda, aku dan Kak Putri udah langsung membereskan sisa-sisa ‘kerusuhan’. Kalau mata Bunda bisa ngomong, kira-kira bunyinya gini: “Kalian itu udah pada gede, masa masih suka ribut kayak anak-anak gitu. Cepet beresin ruangannya.” Setelah beres, diskusi masih berlanjut. Kali ini Kak Putri yang banyak nanya.
“Kalau Putri kondisinya agak kebalikan sama Putra gitu, Bun.”
“Maksudnya, Kak?”
“Aku tuh punya beberapa temen yang udah nikah, sering ikut kegiatan bareng senior juga yang udah pada gendong anak. Dan aku paling kesel kalau ditanyain; kapan nyusul, kapan nikahnya, kapan sebar undangannya? Jangan lama-lama, entar ketuaan loh. Nyebelin deh pokoknya.”
“Halah, bilang aja iri.” Kali ini aku yang ngajak ribut
“Enggak gitu juga kali. Kalau aku sih mikirnya simple-simple aja, tiap orang punya jodoh masing-masing kok, tinggal dijemput, diusahain dan nunggu waktu aja. Dan aku emang masih belum mau ngejarnya sekarang, ya nanti-nanti aja. Masih banyak yang pengen aku lakukan sebelum nikah. Mau lulus dulu, mau buat ayah-bunda bahagia dulu, tapi tetep punya targetan usia maksimal kapan aku harus nikah.”
“Terus masalahnya apa?”
“Masalahnya, di forum itu ada seniorku yang lain, yang aku tahu banget dia lagi fighting abis-abisan buat nikah. Udah berkali-kali usaha masih gagal juga. Enggak cocok lah, orangtuanya kurang merestui lah. Ya coba dijaga perasaannya gitu loh. Aku aja hati-hati banget kalau nanya progress-nya gimana. Kadang malah memilih untuk menghindari pembicaraan itu untuk menjaga perasaannya. Ini malah ngompor-ngomporin, sok kasih nasehat bijak lagi. Padahal belum pernah mengalami kondisi yang dialami temen aku itu.”
“Biasa aja kali. Kak Putri lebay nih.”
“Ini kenapa anak-anak bunda cara berpikirnya jadi kebolak-balik gini sih.” Bunda geleng-geleng kepala menyimak diskusi kami
“Masudnya, Bun?”
*** bersambung ke part-8
=============
“Eh, ngomong-ngomong kuliah Putra gimana kabarnya?”
“Baik kok, Bun. Sekarang mau ujian tengah semester.”
“Oh ya Bun, besok itu Putra enggak bisa ikut nemenin Bunda ya, ada walimahan senior gitu.”
“Iya, gpp. Siapa emang yang nikah?”
“Kakak angkatan di fakultas. Padahal belum pada lulus loh Bunda, dua-duanya masih tingkat akhir.”
“Terus, Putra mau minta izin ke bunda buat nikah sebelum lulus gitu yah?”
“Eh,, enggak kok Bun. Malah Putra enggak pengen nikah sebelum lulus. Kebanyakan seniorku yang nikah belum lulus tuh, pada tersendat-sendat gitu lulusnya. Dan punya image yang kurang baik gitu Bun. Suka diomongin gimana gitu sama yang lainnya.”
“Eh, enggak boleh gitu. Jangan ketuker-tuker; yang harus kita urusin itu kelemahannya kita, kekurangannya kita. Bukan meributkan kekurangannya orang lain. Toh kalau diomongin dan diributin pun orang itu enggak akan berubah. Enggak ada manfaatnya buat kita, apalagi buat orang yang diomongin. Mending kalau mau membantu, bantu yang konkrit-konkrit aja. Dengan doa yang tulus untuk kebaikan yang bersangkutan misalkan, atau melakukan hal lain yang bisa meringankan bebannya. Kalau enggak bisa mendingan diem.”
“Lagipula, setiap orang punya rencana masing-masing, punya prioritas yang berbeda, memiliki kondisi yang enggak sama. Kita juga enggak selalu tahu kondisi mereka. Jadi, jangan menyamaratakan untuk menilai setiap orang dengan standarnya kita. Berprasangka baik dan berpikiran positif selalu menjadi landasan yang paling aman dan bijak untuk menilai orang lain, yang sebenernya kita enggak tahu-tahu banget kondisi sebenarnya kayak gimana.” Bunda agak tegas dan serius banget, biasanya gaya bunda yang kayak gini dipakai kalau bunda menjelaskan sesuatu yang enggak disukainya. Sedikit lebih tinggi derajatnya daripada ‘omelan’ yang biasanya digunakan untuk kesalahan atau hal-hal yang lebih sepele.
***
“Lagi pada ngomongin apaan sih, kayaknya dari tadi seru amat. Ada nikah-nikahnya gitu ya? Putri ikutan dong.” Kak Putri udah nimbrung aja. Bunda melanjutkan penjelasnnya, sudah agak melembut nadanya.
“Enggak ada orang yang enggak mau nikah koh, selama orang itu normal. Hanya masalah waktu saja, kapan kondisi yang tepat untuk melaksanakannya. Dan kondisi tepat itu, berbeda satu sama yang lainnya. Agama kita memang menganjurkan untuk menyegerakan menikah. Tapi agama kita juga mengajarkan untuk menghindari kemudhorotan atau keburukan yang terjadi akibat suatu hal yang kita lakukan.”
“Kondisi ini yang berbeda satu sama yang lainnya. Ada yang beruntung memiliki kondisi tepat yang cepat, secara pribadi sudah siap lahir-batin, kondisi keluarga dan faktor yang lainnya juga mendukung. Ada yang harus berjuang terlebih dahulu untuk meyakinkan keluarga, untuk menyamakan dan menggabungkan dua latar belakang yang berbeda, ada yang harus mematangkan kondisi dan persiapan masing-masing, yang harus ditempuh agar pernikahan itu lebih berkah dengan keridhoan dan keikhlasan masing-masing pihak keluarga. Itu yang enggak bisa kelihatan, yang karenanya kita enggak boleh sembarangan menuduh orang lain begini-begitu, atau membuat asumsi yang macam-macam sesuka hatinya kita. Ngerti?” aku cuma mengangguk sambil nunduk, merasa berdosa. Kak Putri cuma bengong melompong, masih mencoba mengikuti alur pembicaraan aku dan bunda.
“Nah, untuk ‘case’ dari senior Putra yang menikah besok, yang dua-duanya belum lulus itu, bisa jadi yang bersangkutan sudah mempersiapkan semuanya. Kondisinya juga sudah mendukung. Harusnya kita senang ada saudara kita yang mencoba menjalankan ajaran agama untuk menyegerakan menikah. Kalaupun memang benar, apa yang diomongin temen-temen di kampus kalau mereka belum bisa mandiri, bakalan ngerepotin orang tua dan sebaginya dan seterusnya. Harusnya kita juga tetap menghargai keputusan mereka. Setidaknya, mereka mengambil jalan yang benar untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.”
“Banyak loh, teman-teman mereka yang lain yang berpacaran dengan keterlaluan, yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang belum menikah. Setidaknya mereka sudah benar untuk menghindari itu, menjauhi kemudhorotan yang lebih besar walaupun untuk sementara harus merepotkan orang tua, atau kuliahnya harus tersendat beberapa waktu. Semoga dengan niat mereka yang mulia, Allah berkenan untuk memberikan banyak kemudahan dan pertolongan.”
“Iya juga ya, Bun. Putra kok enggak kepikiran sampe situ ya. Jadi merasa bersalah, sudah berprasangka yang enggak-enggak.”
“Makanya, jadi orang jangan sok tahu.” Mulai deh, Kak Putri ngajak ribut. Untung aku lagi enggak bernafsu buat meladeni. Jadi cuma mengiyakan.
“Iya, kakak bawel.” dan sekian detik kemudian, kami udah saling lempar-lemparan bantal kecil yang ada di sofa. Bunda cuma senyum-senyum aja liat kelakuan kami. Artinya, keributan kami masih dalam taraf wajar.
***
Kerusuhan kecil sudah berakhir. Bantal-bantal yang berserakan sudah kembali pada posisis semula. Hanya dengan isyarat mata galaknya bunda, aku dan Kak Putri udah langsung membereskan sisa-sisa ‘kerusuhan’. Kalau mata Bunda bisa ngomong, kira-kira bunyinya gini: “Kalian itu udah pada gede, masa masih suka ribut kayak anak-anak gitu. Cepet beresin ruangannya.” Setelah beres, diskusi masih berlanjut. Kali ini Kak Putri yang banyak nanya.
“Kalau Putri kondisinya agak kebalikan sama Putra gitu, Bun.”
“Maksudnya, Kak?”
“Aku tuh punya beberapa temen yang udah nikah, sering ikut kegiatan bareng senior juga yang udah pada gendong anak. Dan aku paling kesel kalau ditanyain; kapan nyusul, kapan nikahnya, kapan sebar undangannya? Jangan lama-lama, entar ketuaan loh. Nyebelin deh pokoknya.”
“Halah, bilang aja iri.” Kali ini aku yang ngajak ribut
“Enggak gitu juga kali. Kalau aku sih mikirnya simple-simple aja, tiap orang punya jodoh masing-masing kok, tinggal dijemput, diusahain dan nunggu waktu aja. Dan aku emang masih belum mau ngejarnya sekarang, ya nanti-nanti aja. Masih banyak yang pengen aku lakukan sebelum nikah. Mau lulus dulu, mau buat ayah-bunda bahagia dulu, tapi tetep punya targetan usia maksimal kapan aku harus nikah.”
“Terus masalahnya apa?”
“Masalahnya, di forum itu ada seniorku yang lain, yang aku tahu banget dia lagi fighting abis-abisan buat nikah. Udah berkali-kali usaha masih gagal juga. Enggak cocok lah, orangtuanya kurang merestui lah. Ya coba dijaga perasaannya gitu loh. Aku aja hati-hati banget kalau nanya progress-nya gimana. Kadang malah memilih untuk menghindari pembicaraan itu untuk menjaga perasaannya. Ini malah ngompor-ngomporin, sok kasih nasehat bijak lagi. Padahal belum pernah mengalami kondisi yang dialami temen aku itu.”
“Biasa aja kali. Kak Putri lebay nih.”
“Ini kenapa anak-anak bunda cara berpikirnya jadi kebolak-balik gini sih.” Bunda geleng-geleng kepala menyimak diskusi kami
“Masudnya, Bun?”
*** bersambung ke part-8
kriteria
[part-8]
==============
“Ini kenapa anak-anak bunda cara berpikirnya jadi kebolak-balik gini sih.” Bunda geleng-geleng kepala menyimak diskusi kami
“Masudnya, Bun?”
“Putri bener, kalau kita harus menjaga perasaan orang lain. Jangan sampai niat baik untuk mengingatkan orang lain agar segera menikah, malah membuat orang yang diingatkan merasa enggak nyaman, merasa enggak tenang, serta berpikiran dan berprasangka yang enggak-enggak. Emang sudah berapa ribu orang sih yang berhasil diingatkan dengan cara seperti itu. Disindir kapan nikahnya, kapan mau nyusul atau berbagai bentuk sindiran lainnya; yang ada malah semakin membebani orang yang bersangkutan. Apalagi kalau perempuan, yang kebanyakan punya tingkat sensitivitas yang lebih dari rata-rata. Apalagi kalau usianya sudah lewat 25 gitu, pasti banyak yang sedang gelisah untuk urusan jodoh ini. Makanya, harus dijaga perasaannya. Doa tulus di akhir malam tanpa sepengetahun mereka, mungkin jauh lebih efektif dan konkrit untuk membantu dan menolong mereka untuk segera menikah. Bukan dengan sindiran atau pembicaraan yang sebenarnya enggak konkrit-konkrit banget. Malah efek buruknya yang lebih banyak.”
“Lagi pula menjaga hati dan perasaan itu enggak gampang loh. Harusnya yang sudah menikah bisa menghargai orang yang belum menikah, karena mereka masih berjuang untuk mengendalikan hawa nafsunya, untuk mengontrol hati dan perasaannya, untuk menghindari perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Dan mereka masih bisa menjaganya. Belum tentu juga kan, bagi yang sudah menikah kalau berada pada kondisi yang belum menikah tadi, bisa bertahan lebih lama dengan kondisi
“Tuh kan Putri bener. Yess!!”
“Eh tunggu dulu, bunda masih belum selesai. Putri emang benar sudah punya pola pikir yang seperti itu. Tapi Putri masih salah dalam menggunakannya.”
“Salah gimananya, Bun?” kak Putri bingung, aku tertawa.
Cara berfikir kayak gitu, nanti saja Putri gunakan kalau Putri sudah nikah. Biar nanti bisa lebih bijak memandang teman-teman atau juniornya Putri yang belum nikah. Tapi untuk kondisi Putri saat ini, yang belum nikah dan belum lulus juga, Putri harus menggunakan cara berfikir yang lain. Cara berfikir yang berbeda dari apa yang tadi bunda jelasin. Cara berpikir yang juga membuat Putri lebih bijak dalam menyikapi kondisi Putri, dari sudut pandang yang berbeda dari biasanya. Bukan malah yang berfikir dan berprasangka yang enggak-enggak terhadap orang yang suka kampanye buat segera nikah.”
“Cara berpikir yang kayak gimana emangnya, Bunda?” kali ini aku yang bertanya penasaran
“Gini, mereka hanya sedang berbagi bahagia dengan cara yang berbeda. Mereka sudah merasakan bahagia dan indahnya pernikahan. Makanya mereka juga ingin, sahabat-sahabatnya, saudara-saudarinya segera merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Salah satu caranya, ya dengan ‘mengkampanyekan’ cepet-cepet nikah gitu, memotivasi agar yang lain juga mengikuti jejak mereka yang sudah nikah dan bahagia dengan kehidupan baru bersama keluarga kecilnya. Dan menikah itu baik kan? Sedangkan, mengajak dan mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik adalah bentuk kebaikan yang lainnya. Harusnya kita bisa menghargai usaha mereka, bersyukur diberikan saudara-saudari seperti mereka; yang mau mengingatkan, memotivasi dan berbagi kebahagiaan.”
“Tapi caranya itu loh Bun, kadang timing-nya enggak tepat banget. Enggak ngena gitu. Enggak ngenakin deh pokoknya.” Kak Putri masih ngotot. Aku cuma nonton dua perempuan yang sedang asyik berdiskusi ini
“Makanya, Bunda kan tadi bilang, jangan kebolak-balik. Masalahnya, sekarang Putri masih menggunakan cara berfikir yang pertama tadi, yang harusnya digunakan oleh orang yang sudah menikah. Sebaliknya, senior Putri yang suka kampanye cepet nikah itu, menggunakan cara berfikir yang kedua, yang harusnya digunakan buat orang-orang yang belum menikah. Makanya jadi kusut gitu kan, Putrinya sebel dan enggak suka. Seniornya Putri juga enggak sadar dan enggak peka. Enggak ketemu jadinya. Lama-kelamaan hubungan kalian jadi enggak harmonis. Jadi ada sekat gitu nantinya. Coba kalau salah satu diantara kalian menggunakan cara berfikir yang benar, kondisinya enggak akan serumit itu. Syukur-syukur kalau kedua-duanya benar.”
“Iya gitu, Bun?”
“Misalkan gini, kalau seniornya Putri menggunakan cara berfikir pertama yang bunda jelasin tadi, harusnya beliau akan lebih berhati-hati untuk berbicara tentang nikah pernikahan dengan orang-orang yang belum menikah. Enggak memulai duluan, apalagi sampai ngompor-ngomporin. Lebih peka untuk menjaga perasaan yang lainnya. Kecuali kalau beliau ditanya tentang pengalamannya, dimintai pendapat sama yang lainnya. Tentu saja yang lainnya enggak akan sensitif, karena secara psikologis sudah siap mendengar dan belajar dari pengalamannya. Beres kan? Enggak ada masalah sensitif, kesel dan sejenisnya lagi.”
“Atau, kalau Putri atau teman-teman Putri lainnya yang belum menikah, menggunakan cara berfikir yang benar, cara berfikir kedua yang tadi bunda jelasin, walaupun senior Putri itu suka membicarakan pernikahan, ngompor-ngomporin buat segera nikah, Putri enggak akan bermasalah, enggak akan ambil pusing, karena hati dan pikiran Putri sudah terkondisikan untuk menghargai senior Putri yang sedang berbagi kebahagiaan. Bahkan, Putri bisa lebih membahagiakannya dengan berdiskusi lebih lanjut, gimana caranya; kok bisa cepet dan lancar sih, ada saran dan masukan enggak buat Putri, nanti begini begitunya gimana, Putri masih polos loh. Kan kalau begitu sama-sama enak, sama-sama nyaman dan menyamankan.”
“Iya juga sih ya, Bun. Hehe..” Kak Putri senyum-senyum tanpa dosa. Bunda menghembuskan napas [bukan yang terakhir loh ya], lega sekali kelihatannya. Lalu melanjutkan penjelasannya.
“Nah, cara berfikir ini juga berlaku untuk nasihat-menasihati, yang tadi Putri bilang seniornya sok bijak menasihati ini itu padahal belum pernah mengalami kondisi yang sama. Kalau kita sebagai orang yang menasehati, memang seharusnya kita melakukan hal itu dulu sebelum menasihati. Allah enggak suka sama orang yang bisanya ngomong doang, tapi enggak pernah melakukannya. Tapi Allah juga juga menyuruh kita untuk menyampaikan kebaikan. Sedangkan Islam itu memudahkan, tidak menyulitkan. Dalam konteks ini, kita masih boleh untuk menyampaikan kebaikan, walaupun sebenarnya kita masih tertatih-tatih dalam perjuangan untuk melakukannya. Tapi jujur dalam menyampaikannya.”
“Misalkan gini kata-katanya: “ini baik loh, tapi jujur kalau saya pribadi masih belum rutin melakukannya. Masih bolong-bolong. Lagi diusahain buat istiqomah. Doain ya. Kalo kamu mau ikut bareng-bareng juga boleh.” Dengan begitu, perintah untuk menyampaikan kebaikan tetap terlaksana, kita juga enggak menjadi orang yang dibenci Allah, karena sedang berusaha untuk menjalankannya. Yang dinasehati juga enggak merasa digurui, karena dari awal sudah tahu kalo yang menasehati enggak hebat-hebat banget. beda dikit lah. Sekali lagi, ini cara berfikir kalau kita sebagai orang yang menasihati.”
“Kalau kita sebagai orang yang dinasehati, gimana Bunda?” kali ini aku yang bertanya.
“Jangan ngurusin orang yang menasihati. Melakukan atau enggak orang yang dimaksud, baik atau buruk yang bersangkutan, itu urusan dia sama Allah. Bukan urusannya kita. Urusannya kita adalah belajar, mengambil hikmah sebanyak mungkin dari siapapun. Seburuk apapun orang yang dimaksud. Karena hanya dengan begitulah, kita bisa lebih banyak mendapatkan hikmah, lebih banyak mendapatkan masukan untuk memperbaiki diri.”
“Jadi, jangan kebolak-balik lagi ya cara berfikirnya. Awas ya, kalau masih kebolak-balik.” Bunda berkacak pinggang, mukanya pura-pura galak, tapi malah lucu.
“Iya, Bunda.” kali ini aku dan Kak Putri mengangguk kompak, lalu tertawa berbarengan lihat wajah lucu bunda.
***
Diskusi itu baru selesai tengah malam, aku dan Kak Putri sudah masuk kamar masing-masing untuk istirahat. Bunda masih duduk di sofa menunggu ayah pulang. Waktu aku keluar kamar hendak ke kamar mandi, nggak sengaja aku denger obrolan bunda dengan ayah yang ternyata sudah pulang. And you suggest what? Ayah tahu sebagaian besar apa yang dibicarakan bunda begitu juga sebaliknya. Karena mereka memang sudah merencanakan jauh-jauh hari, dan mendapatkan kesemptan yang baik untuk membicarakannya dengan aku dan Kak Putri malam ini, tentang koridor dan bagaimana-bagaimananya anak-anak mereka menghadapi urusan jodoh dan pernikahan. Betapa mereka khawatir dan menginginkan agar anak-anaknya menjalani proses menemukan joohnya dengan cara yang lebih baik, tidak seperti mereka dulu. Ah, makin sayang deh sama mereka. Masa bodo amat sama perempuan baik hati, sederhana, cantik juga sholehah yang aku certain sama ayah tadi.
*** selesai ***
==============
“Ini kenapa anak-anak bunda cara berpikirnya jadi kebolak-balik gini sih.” Bunda geleng-geleng kepala menyimak diskusi kami
“Masudnya, Bun?”
“Putri bener, kalau kita harus menjaga perasaan orang lain. Jangan sampai niat baik untuk mengingatkan orang lain agar segera menikah, malah membuat orang yang diingatkan merasa enggak nyaman, merasa enggak tenang, serta berpikiran dan berprasangka yang enggak-enggak. Emang sudah berapa ribu orang sih yang berhasil diingatkan dengan cara seperti itu. Disindir kapan nikahnya, kapan mau nyusul atau berbagai bentuk sindiran lainnya; yang ada malah semakin membebani orang yang bersangkutan. Apalagi kalau perempuan, yang kebanyakan punya tingkat sensitivitas yang lebih dari rata-rata. Apalagi kalau usianya sudah lewat 25 gitu, pasti banyak yang sedang gelisah untuk urusan jodoh ini. Makanya, harus dijaga perasaannya. Doa tulus di akhir malam tanpa sepengetahun mereka, mungkin jauh lebih efektif dan konkrit untuk membantu dan menolong mereka untuk segera menikah. Bukan dengan sindiran atau pembicaraan yang sebenarnya enggak konkrit-konkrit banget. Malah efek buruknya yang lebih banyak.”
“Lagi pula menjaga hati dan perasaan itu enggak gampang loh. Harusnya yang sudah menikah bisa menghargai orang yang belum menikah, karena mereka masih berjuang untuk mengendalikan hawa nafsunya, untuk mengontrol hati dan perasaannya, untuk menghindari perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Dan mereka masih bisa menjaganya. Belum tentu juga kan, bagi yang sudah menikah kalau berada pada kondisi yang belum menikah tadi, bisa bertahan lebih lama dengan kondisi
“Tuh kan Putri bener. Yess!!”
“Eh tunggu dulu, bunda masih belum selesai. Putri emang benar sudah punya pola pikir yang seperti itu. Tapi Putri masih salah dalam menggunakannya.”
“Salah gimananya, Bun?” kak Putri bingung, aku tertawa.
Cara berfikir kayak gitu, nanti saja Putri gunakan kalau Putri sudah nikah. Biar nanti bisa lebih bijak memandang teman-teman atau juniornya Putri yang belum nikah. Tapi untuk kondisi Putri saat ini, yang belum nikah dan belum lulus juga, Putri harus menggunakan cara berfikir yang lain. Cara berfikir yang berbeda dari apa yang tadi bunda jelasin. Cara berpikir yang juga membuat Putri lebih bijak dalam menyikapi kondisi Putri, dari sudut pandang yang berbeda dari biasanya. Bukan malah yang berfikir dan berprasangka yang enggak-enggak terhadap orang yang suka kampanye buat segera nikah.”
“Cara berpikir yang kayak gimana emangnya, Bunda?” kali ini aku yang bertanya penasaran
“Gini, mereka hanya sedang berbagi bahagia dengan cara yang berbeda. Mereka sudah merasakan bahagia dan indahnya pernikahan. Makanya mereka juga ingin, sahabat-sahabatnya, saudara-saudarinya segera merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan. Salah satu caranya, ya dengan ‘mengkampanyekan’ cepet-cepet nikah gitu, memotivasi agar yang lain juga mengikuti jejak mereka yang sudah nikah dan bahagia dengan kehidupan baru bersama keluarga kecilnya. Dan menikah itu baik kan? Sedangkan, mengajak dan mempengaruhi orang lain untuk berbuat baik adalah bentuk kebaikan yang lainnya. Harusnya kita bisa menghargai usaha mereka, bersyukur diberikan saudara-saudari seperti mereka; yang mau mengingatkan, memotivasi dan berbagi kebahagiaan.”
“Tapi caranya itu loh Bun, kadang timing-nya enggak tepat banget. Enggak ngena gitu. Enggak ngenakin deh pokoknya.” Kak Putri masih ngotot. Aku cuma nonton dua perempuan yang sedang asyik berdiskusi ini
“Makanya, Bunda kan tadi bilang, jangan kebolak-balik. Masalahnya, sekarang Putri masih menggunakan cara berfikir yang pertama tadi, yang harusnya digunakan oleh orang yang sudah menikah. Sebaliknya, senior Putri yang suka kampanye cepet nikah itu, menggunakan cara berfikir yang kedua, yang harusnya digunakan buat orang-orang yang belum menikah. Makanya jadi kusut gitu kan, Putrinya sebel dan enggak suka. Seniornya Putri juga enggak sadar dan enggak peka. Enggak ketemu jadinya. Lama-kelamaan hubungan kalian jadi enggak harmonis. Jadi ada sekat gitu nantinya. Coba kalau salah satu diantara kalian menggunakan cara berfikir yang benar, kondisinya enggak akan serumit itu. Syukur-syukur kalau kedua-duanya benar.”
“Iya gitu, Bun?”
“Misalkan gini, kalau seniornya Putri menggunakan cara berfikir pertama yang bunda jelasin tadi, harusnya beliau akan lebih berhati-hati untuk berbicara tentang nikah pernikahan dengan orang-orang yang belum menikah. Enggak memulai duluan, apalagi sampai ngompor-ngomporin. Lebih peka untuk menjaga perasaan yang lainnya. Kecuali kalau beliau ditanya tentang pengalamannya, dimintai pendapat sama yang lainnya. Tentu saja yang lainnya enggak akan sensitif, karena secara psikologis sudah siap mendengar dan belajar dari pengalamannya. Beres kan? Enggak ada masalah sensitif, kesel dan sejenisnya lagi.”
“Atau, kalau Putri atau teman-teman Putri lainnya yang belum menikah, menggunakan cara berfikir yang benar, cara berfikir kedua yang tadi bunda jelasin, walaupun senior Putri itu suka membicarakan pernikahan, ngompor-ngomporin buat segera nikah, Putri enggak akan bermasalah, enggak akan ambil pusing, karena hati dan pikiran Putri sudah terkondisikan untuk menghargai senior Putri yang sedang berbagi kebahagiaan. Bahkan, Putri bisa lebih membahagiakannya dengan berdiskusi lebih lanjut, gimana caranya; kok bisa cepet dan lancar sih, ada saran dan masukan enggak buat Putri, nanti begini begitunya gimana, Putri masih polos loh. Kan kalau begitu sama-sama enak, sama-sama nyaman dan menyamankan.”
“Iya juga sih ya, Bun. Hehe..” Kak Putri senyum-senyum tanpa dosa. Bunda menghembuskan napas [bukan yang terakhir loh ya], lega sekali kelihatannya. Lalu melanjutkan penjelasannya.
“Nah, cara berfikir ini juga berlaku untuk nasihat-menasihati, yang tadi Putri bilang seniornya sok bijak menasihati ini itu padahal belum pernah mengalami kondisi yang sama. Kalau kita sebagai orang yang menasehati, memang seharusnya kita melakukan hal itu dulu sebelum menasihati. Allah enggak suka sama orang yang bisanya ngomong doang, tapi enggak pernah melakukannya. Tapi Allah juga juga menyuruh kita untuk menyampaikan kebaikan. Sedangkan Islam itu memudahkan, tidak menyulitkan. Dalam konteks ini, kita masih boleh untuk menyampaikan kebaikan, walaupun sebenarnya kita masih tertatih-tatih dalam perjuangan untuk melakukannya. Tapi jujur dalam menyampaikannya.”
“Misalkan gini kata-katanya: “ini baik loh, tapi jujur kalau saya pribadi masih belum rutin melakukannya. Masih bolong-bolong. Lagi diusahain buat istiqomah. Doain ya. Kalo kamu mau ikut bareng-bareng juga boleh.” Dengan begitu, perintah untuk menyampaikan kebaikan tetap terlaksana, kita juga enggak menjadi orang yang dibenci Allah, karena sedang berusaha untuk menjalankannya. Yang dinasehati juga enggak merasa digurui, karena dari awal sudah tahu kalo yang menasehati enggak hebat-hebat banget. beda dikit lah. Sekali lagi, ini cara berfikir kalau kita sebagai orang yang menasihati.”
“Kalau kita sebagai orang yang dinasehati, gimana Bunda?” kali ini aku yang bertanya.
“Jangan ngurusin orang yang menasihati. Melakukan atau enggak orang yang dimaksud, baik atau buruk yang bersangkutan, itu urusan dia sama Allah. Bukan urusannya kita. Urusannya kita adalah belajar, mengambil hikmah sebanyak mungkin dari siapapun. Seburuk apapun orang yang dimaksud. Karena hanya dengan begitulah, kita bisa lebih banyak mendapatkan hikmah, lebih banyak mendapatkan masukan untuk memperbaiki diri.”
“Jadi, jangan kebolak-balik lagi ya cara berfikirnya. Awas ya, kalau masih kebolak-balik.” Bunda berkacak pinggang, mukanya pura-pura galak, tapi malah lucu.
“Iya, Bunda.” kali ini aku dan Kak Putri mengangguk kompak, lalu tertawa berbarengan lihat wajah lucu bunda.
***
Diskusi itu baru selesai tengah malam, aku dan Kak Putri sudah masuk kamar masing-masing untuk istirahat. Bunda masih duduk di sofa menunggu ayah pulang. Waktu aku keluar kamar hendak ke kamar mandi, nggak sengaja aku denger obrolan bunda dengan ayah yang ternyata sudah pulang. And you suggest what? Ayah tahu sebagaian besar apa yang dibicarakan bunda begitu juga sebaliknya. Karena mereka memang sudah merencanakan jauh-jauh hari, dan mendapatkan kesemptan yang baik untuk membicarakannya dengan aku dan Kak Putri malam ini, tentang koridor dan bagaimana-bagaimananya anak-anak mereka menghadapi urusan jodoh dan pernikahan. Betapa mereka khawatir dan menginginkan agar anak-anaknya menjalani proses menemukan joohnya dengan cara yang lebih baik, tidak seperti mereka dulu. Ah, makin sayang deh sama mereka. Masa bodo amat sama perempuan baik hati, sederhana, cantik juga sholehah yang aku certain sama ayah tadi.
*** selesai ***
Notes: Futuristik, dipraktekkan ya Rima.. :)
Sumber gambar google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar